PERAN DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TIMUR
DALAM PENANGANAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM
MELALUI PANTI SOSIAL
(Isi Kesepakatan Bersama Dirjen Pemasyarakatan dengan Departemen
Sosial RI)
I.
Pendahuluan
Dalam rangka pelaksanaan
pembinaan Anak Didik (AD) yang berada di Lapas Anak (LA), saat ini ditemui
beberapa hambatan, yaitu:
A. Walaupun ketentuan yang
ada telah mengatur proses pembinaan anak didik dapat dilaksanakan dalam waktu
yang relatif cepat sesuai pentahapan, namun dalam kenyataan hal tersebut tidak
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hambatan terjadi antara lain karena
tidak adanya orang tua/wali/badan sosial yang mau menjamin Anak Negara (AN)
atau Anak Pidana (AP) pada saat menjalani Pembebasan Bersyarat (PB). Keadaan
ini mengakibatkan AN berada di LA lebih lama dari AP, pada hal pelanggaran AN
sebenarnya lebih ringan dibanding dengan kasus pelanggaran AP
B. Adanya kondisi
keterbatasan yang dihadapi LA dalam rangka penyelenggaraan pembinaan baik
dilihat dari segi SDM, dana, sarana dan prasarana sehingga kondisi ini menjadi
sebab tidak memungkinkannya diadakan pendidikan, perawatan dan perlindungan yang
memadai bagi AD.
C. Menyikapi kondisi
dimaksud, guna mewujudkan pembinaan AD di LA dalam suasana lapas yang ramah
anak serta untuk memacu terlaksananya proses pemasyarakatan bagi AD sesuai
dengan pentahapannya, Dirjen Pemasyarakatan telah mengadakan kerja sama dengan
Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial serta 2 (dua) LSM,
PLAN dan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pada tanggal 14 Mei
2005 yang direview pada tahun 2008.
II.
Isi MoU antara Dirjen
Yanrehsos Depsos RI dengan Dirjen Pemasyarakatan Depkum
dan HAM RI tentang
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyarakatan
A. Pengertian
1. Anak pelaku tindak pidana
adalah anak yang melakukan tindak pidana yang telah mencapai umur 12 (dua
belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
2. Rehabilitasi merupakan
proses refungsionalisasi dan pemantapan taraf kesejahteraan sosial untuk
memungkinkan para penyandang masalah kesejahteraan sosial mampu melaksanakan
kembali fungsi sosialnya dalam tata kehidupan dan penghidupan bermasyarakat dan
bernegara
3. Panti Sosial Marsudi
Putra adalah Panti Rehabilitasi Anak Nakal yang memiliki fungsi memberikan
pelayanan dan rehabilitasi sosial yang meliputi bimbingan fisik, bimbingan
mental psikologis, bimbingan sosial, bimbingan keterampilan, resosialisasi
serta bimbingan lanjutan bagi anak nakal agar mampu hidup selaras dengan
lingkungan, serta berperan aktif dalam kehidupan masyarakat
4. Anak nakal adalah:
a. Anak yang melakukan
tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi
anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum
lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (pasal 1 ayat 2
UU no. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak)
b. Anak yang mengalami
kesulitan penyesuaian diri yang menyebabkan melanggar hukum,
sulit dididik
dalam keluarga dan dapat membahayakan orang lain (definisi menurut pekerjaan sosial)
5. Anak Didik Pemasyarakatan
(ADP) adalah:
a. AP, yaitu anak yang
berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LA paling lama sampai
berumur 18 (delapan belas) tahun
b. AN, yaitu anak yang
berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Negara untuk dididik dan
ditempatkan di LA paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun
c. Anak Sipil (AS), yaitu
anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
penetapan
pengadilan untuk dididik di LA paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas)
tahun
6. Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
narapidana dan ADP.
7. Balai Pemasyarakatan
(Bapas), yaitu pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan (KP)
8. Pembimbing Kemasyarakatan
(PK), yaitu Petugas Pemasyarakatan (PP) pada Bapas yang
melakukan bimbingan
pada KP (UU no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak)
B. Tujuan
Tujuan dari MoU ini
adalah tercapainya pelayanan yang berkelanjutan melalui kegiatan rehabilitasi
agar ADP dapat:
1. Hidup selaras dengan
lingkungan serta berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat
2. Memiliki keterampilan
kerja sebagai modal dasar kemandirian
3. Menghilangkan label dan
stigma anak sebagai narapidana anak
4. Diterima oleh masyarakat,
lingkungan dan keluarga
C. Ruang Lingkup
MoU mengatur tentang
pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi ADP yang akan selesai menjalani
pendidikan di LA agar memperoleh hak-hak dasarnya, yaitu hak untuk hidup,
tumbuh kembang, perlindungan dan hak untuk berpartisipasi.
D. Sarana dan Prasarana
1. Sarana pelayanan dan
rehabilitasi bagi anak nakal, ADP atau anak pelaku tindak pidana dan eks anak
didik adalah Panti Sosial Marsudi Putra yang ada di tingkat provinsi,
kabupaten/kota.
2. Kelengkapan sarana dan
prasarana panti disesuaikan dengan standar yang berlaku dengan
memperhatikan
prinsip kenyamanan dan keselamatan
E. Pelaksanaan
Pelaksanaan pelayanan
terdiri dari Kepala Panti, Pekerja Sosial, Instruktur Keterampilan, Pendidik,
Pengacara dan Pembimbing Kemasyarakatan
F. Mekanisme/Tata Laksana
Pelayanan
1. Anak yang sedang dalam
proses pengadilan:
a. Anak yang mendapatkan
penetapan Hakim diserahkan pada Panti Sosial melalui
Departemen Sosial atau
Dinas Sosial
b. Kepala Panti atau petugas
yang ditunjuk menangani dengan menempatkan anak pada
ruang khusus (sementara)
untuk mendapatkan pelayanan kebutuhan dasar (basic life support), perawatan
medis, konseling, psikologis, bimbingan sosial, pendidikan dan bimbingan
keterampilan kerja
c. Untuk pelayanan lebih
lanjut, anak ditempatkan di ruangan biasa sesuai dengan
kebutuhan
d. Setelah anak
menyelesaikan seluruh pelayanan, dikembalikan kepada orang tua atau
walinya.
2. AN:
a. AN yang oleh hakim
diputus untuk diserahkan kepada Negara dan ditempatkan di LA sebagai AN
b. Demi kepentingan anak, Kalapas
dapat mengajukan ijin kepada Menkum dan HAM RI agar AN ditempatkan di lembaga
pendidikan anak yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta
c. AN setelah menjalani masa
pendidikannya di LA paling sedikit 1 (satu) tahun dan
berkelakuan baik, Kalapas
atau izin Menkum dan HAM RI dapat menyerahkan anak tersebut ke panti sosial
Depsos selaku orang tua/wali bagi anak Negara
d. Tiga bulan sebelum AN
diserahkan pada panti sosial Depsos, Kalapas memberitahukan kepada Kepala Panti
mengenai rencana penempatan anak tersebut dan Kepala Panti menyatakan
kesediaannya menerima AN tersebut. Setelah tiba saatnya anak harus dikeluarkan
dari LA untuk mendapatkan bimbingan lanjutan dalam rangka persiapan reintegrasi
sosial
e. Setelah AN selesai
menjalani seluruh pelayanan dan dikembalikan kepada orang
tua/walinya,
memberitahukan kepada pihak LA.
3. AP:
a. Demi kepentingan terbaik
anak, Kalapas dapat mengajukan kepada Menkum dan HAM RI agar keberadaan AP di LA
dapat dipersingkat dengan jalan memberikan pembebasan bersyarat guna
mendapatkan bimbingan lanjutan di luar Lapas dalam rangka persiapan reintegrasi
sosial dengan cara menyerahkan kepada orang tua/wali dan atau panti sosial
Departemen Sosial
b. AP yang telah menjalani
2/3 (dua per tiga) dari pidana yang dijatuhkan yang sekurang-
kurangnya 9
(Sembilan) bulan dan berkelakuan baik dapat diberikan pembebasan bersyarat.
c. Tiga bulan sebelum AP diserahkan
pada Panti Sosial Depsos, Kalapas memberitahukan kepada orang tua/wali dan atau
Kepala Panti menyatakan kesediaannya menerima AN tersebut. Setelah tiba saatnya
anak harus dikeluarkan dari LA untuk mendapatkan binjut dalam rangka persiapan
reintegrasi sosial.
d. Setelah AP selesai
menjalani seluruh pelayanan dan diserahkan kembali kepada orang tua/wali,
Kepala Panti memberitahukan kepada pihak LA tentang penyerahan anak tersebut.
4. Anak yang telah selesai
menjalani hukuman:
a. Tiga bulan menjelang anak
selesai menjalani masa pidana di LA, petugas Lapas
menginformasikan kepada
Panti Sosial tentang berakhirnya masa pidana anak
b. Petugas Dinas Sosial
menyampaikan kepada Kepala Panti Sosial
c. Petugas Panti mengadakan
pendekatan motivasi pada anak yang ada di LA serta orang
tua/wali agar anak mau
masuk ke Panti Sosial
d. Petugas Lapas membawa
anak ke Panti untuk melihat dan melakukan orservasi dan
orientasi tentang Panti
Sosial
e. Pada waktu pembebasan
anak dari Lapas, petugas Panti menjemput anak untuk dibawa ke Panti
f.
Menempatkan anak pada ruang khusus (sementara), dengan memberikan
pelayanan
kebutuhan dasar anak (basic
life support), perawatan kesehatan, intervensi psikososial (konseling),
pendidikan, bimbingan sosial, bimbingan keterampilan, dan lain-lain.
g. Untuk pelayanan lebih
lanjut, anak ditempatkan di ruangan biasa
h. Setelah selesai seluruh
pelayanan, anak dapat diserahkan kembali kepada orang tua/wali dan anak
disalurkan pada lapangan kerja
G. Tanggung Jawab Para Pihak
1. Departemen Sosial RI
a. Memotivasi anak, orang
tua/wali agar anak mau masuk Panti setelah selesai menjalani
masa pidana
b. Menyiapkan persyaratan
administratif: melakukan identifikasi dan registrasi, melakukan
penelusuran dan
penelaahan masalah (assessment)
c. Menempatkan anak pada
program pelayanan
d. Memberikan pelayanan
kebutuhan dasar (pengasramaan, makan, pakaian, kesehatan,
dll)
e. Memberikan bimbingan sosial
dan bimbingan keterampilan kerja
2. Depkum dan HAM
a. Melaksanakan motivasi
awal agar anak mau masuk panti
b. Melengkapi data anak dan
registrasi
c. Memberikan pelayanan pada
anak sesuai dengan hak anak untuk tumbuh kembang dan
berpartisipasi
d. Memberikan pelayanan
bimbingan sosial, rehabilitasi sosial, kesehatan, mental agama,
pendidikan dan
keterampilan pada anak
e. Mengembalikan pada orang
tua/wali
H. Koordinasi dan Komunikasi
1. Masing-masing pihak
berkoordinasi dengan lembaga/instansi seperti:
a. Depsos RI pada:
1) Dinsosprov
2) Panti Sosial Marsudi
Putra
3) Panti Sosial Asuhan Anak
4) Panti Sosial Bina Remaja
5) Panti Sosial Petirahan
Anak
6) Panti Sosial Bina Karya
7) Dll
(Catatan : no. 5) dan 6) serta
7) merupakan tambahan, karena pada
kenyataannya ada AN yang dikirim ke panti tersebut, juga ada
yang dikirim ke PSBK
karena AN beserta
keluarganya menggelandang)
b. Depkum dan HAM
1) Kanwil Depkum dan HAM RI
seluruh Indonesia
2) Bapas seluruh Indonesia
3) LA seluruh Indonesia
2. Untuk kelancaran jalannya
MoU ini diadakan pertemuan antar pejabat sebagaimana di
tercantum pada nomor 1
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali
I.
Pembiayaan
Dalam hal penyediaan dan
fasilitas kedua belah pihak sepakat untuk:
1. Memanfaatkan fasilitas
yang telah dimiliki dan menyiapkan dana dari masing-masing instansi
2. Mengupayakan dana dari
APBN maupun sumber lain yang tidak mengikat masing-masing
instansi
J.
Jangka Waktu
MoU dalam pelayanan dan
rehabilitasi sosial ADP ini berlaku 5 (lima) tahun sejak ditandatanganinya
kesepakatan ini dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang disepakati
bersama.
K. Penutup
Petunjuk teknis lapangan
naskah kesepakatan ini ditetapkan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri.
III.
Review MoU ABH 14 Mei
2005 pada Tahun 2008
MoU yang dilaksanakan tahun 2005 antara Departemen Sosial dengan
Ditjen Pemasyarakatan, tahun 2008 diadakan review Dirjen PRS dan Dirjen
Pemasyarakatan mengenai isi dari kesepakatan tersebut, yaitu ditingkatkan lebih
tinggi ke tingkat Menteri.
Pada kesempatan tersebut Menteri Sosial DR. Salim Segaf Al Jufri mengatakan bantuan-bantuan yang selama ini diberikan lembaga mitra perlindungan anak sangat mendukung bagi pelayanan sosial anak yang membutuhkan perlindungan khusus di Indonesia.
Pada kesempatan tersebut Menteri Sosial DR. Salim Segaf Al Jufri mengatakan bantuan-bantuan yang selama ini diberikan lembaga mitra perlindungan anak sangat mendukung bagi pelayanan sosial anak yang membutuhkan perlindungan khusus di Indonesia.
Mensos menambahkan bahwa kasus permasalahan anak yang berhadapan
dengan hukum semakin meningkat sepanjang tahun itu, tantangan dan penderitaan
yang dialami anak-anak masih belum berakhir. Kekerasan terhadap anak, baik
kekerasan fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi fakta yang nyata dan tidak
tersembunyikan lagi. Untuk itu peran lembaga pemerintah ini diharapkan mampu
memberikan kontribusi dalam mengatasi anak yang berhadapan dengan hukum.
Sementara itu Dirjen Yanrehsos, DR. Makmur Sunusi, Ph.D mengatakan
bahwa Departemen Sosial telah berupaya semaksimal mungkin dalam mendapingi dan
memberikan terapi psikologi kepada anak-anak yang menjalani kasus persidangan.
Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang
sangat rentan untuk terlibat atau dilibatkan dalam kenakalan atau suatu
perbuatan melanggar hukum adalah perlindungan khusus terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum (ABH). ABH melibatkan anak dalam proses hukum, melalui
suatu peradilan khusus, bukan penjara yang seharusnya mereka hadapi sebagai keputusan
terakhir, lanjut Makmur.
Untuk mencegah masalah-masalah sejenis di masa mendatang, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan penegak hukum dalam rangka mempertimbangan
kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Pertama mengenai usia pertanggunjawaban
pidana. Hal ini bermanfaat agar tidak sembarang anak dapat dibawa ke proses
hukum, tetapi berdasarkan usia yang sudah ditetapkan. Indonesia menetapkan
seorang anak dapat dibawa ke proses peradilan mulai dari usia delapan tahun.
Usia ini sebenarnya sangat rendah. Di banyak negara usia pertanggungjawaban
pidana antara 12-17 tahun.
Seringkali usia ini menjadi masalah karena banyak anak tidak
memiliki akta kelahiran sehingga sulit untuk mengasumsikan usia anak yang tidak
diketahui usianya. Kondisi ini menyebabkan anak diberlakukan seperti orang
dewasa saat berhadapan dengan hukum. Padahal berdasarkan Asian Guidelines for Child Trafficking dinyatakan bahwa apabila
usia anak sulit ditebak, maka dia harus diasumsikan sebagai anak.
Kedua mengenai proses hukum dan sistem administrasi peradilan
anak. Mulai dari tahap penyidikan, persidangan dan pemenjaraan seringkali
sebagai tempat dilanggarnya hak-hak anak. Pada tahap awal proses penyidikan,
semestinya orangtua anak harus telah diberitahukan mengenai kondisi anak. Bila
orangtua tidak ada, maka harus dipilih walinya. Selanjutnya anak harus
mendapatkan pendampingan, baik pendampingan untuk proses konseling oleh
psikolog, maupun pendamping hukum dengan biaya yang ditanggung negara.
Pendamping hukum sangat penting dalam proses hukum yang dialami anak. Anak adalah warga negara yang belum dewasa, tidak memiliki kemampuan hukum (consent) untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk itu, anak yang berkonflik dengan hukum harus melibatkan orangtua/wali maupun pendamping, khususnya pendamping hukum sebagai orang yang memiliki consent untuk menuntut hak asasi mereka dalam proses hukum tersebut. Proses pemeriksaan juga harus dilakukan dengan tata cara ramah anak, seperti dilakukan orang yang ahli dalam bidang anak berdasarkan persetujuan anak, dalam bahasa yang dimengerti anak dan bila bahasa itu tidak dimengerti harus diberikan penerjemah. Anak harus diberikan kesempatan beristirahat, privacy terjamin dan tentu saja tanpa kekerasan terhadap anak. Selanjutnya dalam proses peradilan, hakim dan jaksa tidak boleh mengenakan toga karena akan menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis lainnya bagi anak.
Ketiga mengenai kesehatan. Perawatan kesehatan fisik dan psikis anak sering tidak menjadi perhatian negara selama anak menjalani proses penahanan dan pemidanaan. Bahkan dalam banyak kasus anak mengalami kekerasan fisik baik yang dilakukan oleh aparat negara, maupun sesama tahanan/narapidana lainnya.
Pendamping hukum sangat penting dalam proses hukum yang dialami anak. Anak adalah warga negara yang belum dewasa, tidak memiliki kemampuan hukum (consent) untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk itu, anak yang berkonflik dengan hukum harus melibatkan orangtua/wali maupun pendamping, khususnya pendamping hukum sebagai orang yang memiliki consent untuk menuntut hak asasi mereka dalam proses hukum tersebut. Proses pemeriksaan juga harus dilakukan dengan tata cara ramah anak, seperti dilakukan orang yang ahli dalam bidang anak berdasarkan persetujuan anak, dalam bahasa yang dimengerti anak dan bila bahasa itu tidak dimengerti harus diberikan penerjemah. Anak harus diberikan kesempatan beristirahat, privacy terjamin dan tentu saja tanpa kekerasan terhadap anak. Selanjutnya dalam proses peradilan, hakim dan jaksa tidak boleh mengenakan toga karena akan menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis lainnya bagi anak.
Ketiga mengenai kesehatan. Perawatan kesehatan fisik dan psikis anak sering tidak menjadi perhatian negara selama anak menjalani proses penahanan dan pemidanaan. Bahkan dalam banyak kasus anak mengalami kekerasan fisik baik yang dilakukan oleh aparat negara, maupun sesama tahanan/narapidana lainnya.
Keempat mengenai pendidikan. Anak yang melakukan tindak
pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah, padahal belum ada keputusan tetap yang
mengikat, apakah anak tersebut bersalah atau tidak, sehingga menyalahi prinsip
praduga tak bersalah dan tentunya menghilangkan hak anak atas pendidikan. Harus
diingat, pemenjaraan hanya menghilangkan hak bergerak seseorang, sementara
hak-hak lainnya tetap wajib didapatkan. Jika seorang anak dipidana penjara,
maka seluruh hak-haknya yang lain wajib diberikan, misalnya hak atas
pendidikan, hak untuk terbebas dari tindak kekerasan dan sebagainya.
Untuk itu diperlukan payung hukum yang kuat dalam menangani anak
yang berhadapan dengan hukum, dalam Konvensi Hak Anak (KHA), anak yang
berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan
perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: "Tidak
seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan
sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus
sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan
untuk jangka waktu terpendek dan tepat."
IV.
Tinjauan atas MoU di
Panti Sosial
Dari MoU tersebut, sudah
tergambar jelas tugas masing-masing pihak. Jika melihat tujuan bahwa menjelang
masa pembebasan 100 % anak dari LA, maka, penempatan anak di panti sosial,
secara konseptual, merupakan tindakan
yang tepat, apalagi jika anak tersebut merupakan anak yang sudah tidak memiliki
aktifitas lain selepas dari Lapas. Di dalam Panti Sosial, yang sekarang bernama
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Sosial Provinsi di Jawa Timur telah mencakup
pelayanan yang berkelanjutan, seperti pelayanan fisik dan kesehatan, bimbingan
mental (intelektual-psikologis-spiritual-estetika), bimbingan sosial dan
keterampilan. Sehingga, selepas anak dari Panti Sosial dapat mencapai tujuan sesuai
kesepakatan, yaitu:
A. Hidup selaras dengan
lingkungan serta berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat
B. Memiliki keterampilan
kerja sebagai modal dasar kemandirian
C. Hilangnya label dan
stigma anak sebagai narapidana anak, dan
D. Diterima oleh masyarakat,
lingkungan serta keluarga
UPT Dinas Sosial Provinsi
Jawa Timur yang relevan sebagai rujukan ABH yang memberikan pelayanan sesuai
dengan tujuan akhir MoU adalah:
A. UPT Rehsos ANKN Surabaya
B. UPT PSAA Trenggalek,
Situbondo, Sumenep, Nganjuk
C. UPT PSRT Blitar, Jombang,
Bojonegoro, Pamekasan
D. Panti Sosial Petirahan
Anak Batu Malang yang memilki sub program Rumah Perlindungan Sosial Anak
(RPSA), merupakan shelter sementara bagi anak sambil menunggu tempat rujukan
yang paling aman, termasuk shelter bagi ABH
E. Panti Sosial Bina Karya
Sidoarjo, Pasuruan dan Madiun
Bagi ABH yang memilki
kecacatan, maka dapat dirujuk ke UPT spesialisasi kecacatan, seperti:
F. UPT RSCN malang, jika ADP
merupakan klien cacat netra
G. UPT RSCT, jika ADP cacat
tubuh
H. UPT RSCG, jika ADP cacat
grahita
I.
Dan anak dengan kebutuhan khusus lain
Namun, sesuai dengan penelitian
yang dilakukan pada tahun 2007 oleh peneliti Departemen Sosial di beberapa
provinsi, termasuk di Provinsi Jawa Timur, bahwa rujukan ABH terhadap Panti
Sosial masih jarang. Penelitian ini dilatarbelakangi
temuan litbang Depkumham (2004)
bahwa pengalihan
kasus anak ke lembaga sosial (diversi) belum pernah terjadi, sekalipun kasusnya ’remeh’.
Padahal pengalaman
anak
hidup di penjara dapat menimbulkan
trauma psikologis, memunculkan
stigmatisasi
sebagai anak ‘jahat’ serta berpeluang
menjadi residivis. Senada
dengan itu, tahun 2005, Dirjen
Yanrehsos/Depsos dan Dirjen Pemasyarakatan/Depkumham,
membuat MoU tentang pelayanan rehabilitasi
sosial anak didik dan pemasyarakatan.
Temuan di lapangan menunjukkan bahwa implementasi MoU belum optimal. Sebaliknya, beberapa LSM/LPA di berbagai lokasi penelitian, telah melakukan
pendampingan hukum
dan
sosial yang telah menyelamatkan anak dari jerat hukum. Namun upaya tersebut belum sebanding dengan jumlah anak yang berkonflik hukum. Bahkan masih banyak ditemukan perlakuan sewenang-wenang,
tindak kekerasan, intimidasi pada anak dan tidak ada bantuan (pendampingan)
hukum, sebagaimana haknya anak berkonflik hukum. Kondisi ini sangat bertentangan dengan semangat yang ada dalam Konvensi Hak Anak yang
mengkatagorikan anak berkonflik hukum sebagai anak yang membutuhkan perlindungan khusus (Child in Need
of
Special Protection), pasal-pasal dalam UU Peradilan anak N0 3/1997 serta UU Perlindungan Anak No. 23/2002. Belum maksimalnya penanganan
anak berkonflik hukum oleh lembaga pemerintah maupun masyarakat, merujuk pada rekomendasi perlunya peningkatan kualitas SDM panti dengan
diklat
Pekerja Sosial
Koreksional,
revitalisasi
MoU, memberi sertifikasi pada lembaga sosial; sebagai rujukan penegak hukum, membentuk jaringan kerjasama Pekerja Sosial di Panti Sosial-Bapas-LSM, menguji coba model pendampingan
pada
anak berkonflik hukum dan penanganan anak berbasis masyarakat, advokasi pemerintah tentang batas
usia minimal anak berkonflik hukum dari 8 tahun menjadi 12 tahun.
A.
Sarana dan Prasarana
Untuk menjawab kebutuhan ABH di Panti (di Dinas Sosial Provinsi Jawa
Timur menjadi UPT) perlu ada beberapa perbaikan disesuaikan dengan kebutuhan
ABH. Jika melihat program telah sesuai dengan kebutuhan, namun jika meninjau
fasilitas, perlu adanya penambahan disesuaikan dengan tuntutan. Misalnya
sebelum diberikan pelayanan lebih lanjut (anak ditempatkan di ruangan biasa
sesuai dengan kebutuhan), diperlukan ruangan khusus (sementara) untuk mendapatkan
pelayanan kebutuhan dasar seperti
perawatan medis, dan konseling psikologis. Atau, sebagai jalan keluar
lain, jika kebutuhan ruangan khusus tersebut sulit untuk dipenuhi, maka dapat ditempatkan
terlebih dahulu di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) di PSPA Batu sebelum
anak benar-benar siap untuk ditempatkan di Panti Sosial. Sementara menunggu
waktu penempatan, di RPSA dilakukan asesmen untuk rujukan yang paling tepat.
Namun, jika terdapat hambatan geografis atau kesulitan keterjangkauan tempat, maka
perubahan tau revitalisasi yang perlu diperhatikan oleh UPT-UPT rujukan,
diantaranya adalah:
1.
Perlu adanya ruangan khusus sebelum anak diintegrasikan ke dalam
pembinaan reguler.
2.
Perlu pengaturan waktu rehabilitasi. Jika pelayanan dan rehabilitasi reguler
(yang telah ada)
melihat kurun waktu, namun untuk menangani ABH perlu adanya
aturan baru yang tidak dibatasi kurun waktu
3.
Peningkatan SDM, terutama pekerja sosial koreksional. Adanya Pekerja
Sosial (Shakti
Peksos) merupakan salah satu jawaban. Namun merekapun perlu
dibekali dengan ilmu pekerjaan sosial koreksional. Di lain pihak pelibatan
psikolog anak yang lebih intensifpun perlu ditingkatkan. Demikian juga dengan
pelibatan SDM yang telah ada, yaitu TKSK.
4.
Perubahan jam kerja pegawai, bukan yang selama ini dijalani, seven to sixteen, namun
perlu dirubah
dengan pola bergilir selama 24 jam selama 7 hari. Hal ini perlu dilakukan jika
sebagai pelayan publik ingin menerapkan pelayanan prima yang proaktif terhadap
tantangan dan kebutuhan. UPT Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur diibaratkan
sebagai rumah sakit, (bukan untuk mengobati penyakit fisik), namun penyakit sosial.
Sebagaimana rumah sakit, maka jam kerjapun bergilir selama 24 jam bukan lagi
hanya jam kerja konvensional, karena justru pemenuhan kebutuhan psiko-sosial ABH
lebih banyak diperlukan pada saat hari libur dan di luar jam kerja.
5.
Membentuk jaringan kerjasama Pekerja Sosial di Panti Sosial-Bapas-LSM
6.
Terakhir, agar implementasi pelayanan prima segera terwujud, maka
perlu mulai dirintis
pemberlakuan sistem remunerasi, sehingga budaya jam kerja
siang hari segera berubah karena ada pressure. Jam kerja karyawan mengikuti kebutuhan klien
bukan kebutuhan dan keinginan SDM karyawan yang ada didalamnya.
B.
Aplikasi Rujukan ABH ke Panti Sosial Dinsosprov Jatim
1.
Di UPT Rehsos ANKN Surabaya, sudah beberapa kali mendapatkan telepon
dari LA
untuk menempatkan anak di UPT Rehsos ANKN, namun dengan beberapa alasan,
peluang tersebut ditampik terutama oleh AN. Namun di KN, secara resmi maupun
tidak telah menerima beberapa kasus, seperti klien yang terlibat dalam
pembunuhan ditempatkan di rehabilitasi regular dengan wajib lapor ke kepolisian
Kediri, demikian juga dengan kasus penyalahgunaan NAPZA, masa bebas
bersyaratnya dihabiskan di TC KN, serta beberapa kasus lain, seperti penyelewengan
dana P2SEM, dan lain-lain. Pada akhirnya, semua kembali kepada keluarga dan
berusaha mencari pekerjaan di masyarakat setelah diberi pelatihan keterampilan.
2.
Di PSPA Batu melalui RPSA beberapa anak yang melakukan pencurian,
perkelahian dan
kekerasan pada teman hampir semuanya bisa dipertahankan untuk
dibina oleh keluarga.
3.
Serta kasus-kasus lainnya.
V.
Penutup
Maka, jika telah ada inisiasi dari beberapa UPT dan dapat menangani
ABH, maka perbuatan positif tersebut perlu ditindaklanjuti dengan penerimaan
ABH selanjutnya dengan kejasama yang lebih resmi, akan lebih baik lagi jika
kekurangan UPT yang telah diulas di atas dipenuhi terlebih dahulu atau bisa
juga disempurnakan sambil jalan.
No comments:
Post a Comment