ADIKSI, KONSELOR ADIKSI
DAN DEWAN KONSELOR ADIKSI
A.
Pengertian Adiksi
Dalam tahap relapse prevention ini juga menggunakan
tenaga dari konselor-konselor yang terlatih, mencoba untuk membantu si pecandu
untuk dapat tetap bertahan bersih dan menghadapi serta mengenali tanda-tanda
relapse (kambuh). Data statistik internasional mengatakan sekitar 75–80 % dari
pecandu yang telah melewati program pemulihannya, relapse atau kembali memakai.
Pemulihan
adalah merupakan proses yang harus terus dijalani oleh pecandu seumur hidupnya,
dengan demikian setelah si pecandu menyelesaikan program pemulihan dasarnya,
tidak berhenti sebatas itu saja. Relapse prevention adalah merupakan
program lanjutan bagi si pecandu untuk dapat mempertahankan waktu bersihnya dan
mengatasi relapse. PeerRelapse
Prevention Counselor(konselor pencegahan kekambuhan sebaya) adalah
merupakan terapi yang paling cocok dan paling sukses dalam hal mengatasi dan
membantu mereka yang kecanduan.
Dalam
melakukan konselingnya, tidak ada batasan waktu terapi.Hal ini banyak
tergantung dari tingkat keparahan adiksi.Ada 3 tingkat adiksi, yaitu tingkat adiksi, tingkat toleransi dan tingkat
ketergantungan. Tingkat adiksi adalah tingkat ketergantungan bagi pemula,
mereka merasakan kenikmatan waktu pertama menggunakan NAPZA, mereka mulai dan cenderung untuk mengulanginya. Pada
tingkat toleransi, pengguna NAPZA mulai mencoba untuk menaikkan dosis
penggunaan NAPZA tersebut. Tingkat ketergantungan, pengguna NAPZA menggunakan
NAPZA sebagai sarana untuk menghilangkan rasa sakit yang diderita (craving and urge)
B.
Konselor Adiksi
1.
Pengertian
Di Indonesia,
secara umum jika melihat dari asal katanya, konselor adalah orang yang memiliki
tugas memberikan konseling atau nasihat-nasihat dan masukan-masukan praktis
bagi orang yang mengalami kendala-kendala tertentu. Adiksi adalah kondisi kecanduan
zat racun yang merusak dan membahayakan tubuh serta dapat menimbulkan
ketergantungan (addicted) bahkan kematian untuk pemakaian yang berlebihan. Jadi
konselor adiksi adalah orang yang memberikan konseling/masukan untuk menghadapi
kendala penggunaan zat-zat beracun yang merusak tubuh serta menimbulkan
ketergantungan.
Di luar
negeri, khususnya Amerika Serikat, konselor adiksi adalah seseorang yang
memiliki kualifikasi kesehatan mental yang mengkhususkan diri dalam membantu
klien yang ketergantungan NAPZA.Konselor ini dapat bekerja secara mandiri atau
privat, sebagai bagian atau pegawai dari sebuah klinik, bekerja berkelompok,
dan dalam seting rumah sakit, membantu klien dengan berbagai masalah.Untuk
menjadi konselor adiksi, seseorang harus secara umum menyelesaikan berbagai
program latihan yang meliputi berbagai hal mengenai ketergantungan beragam
bahan kimia, psikologi, masalah hukum, berbagai tindakan yang ada agar individu
dapat berjuang melawan adiksinya.
Banyak orang
langsung berpikir merujuk pada zat kimia yang dapat mengakibatkan
ketergantungan seperti heroin ketika mereka mendengar kata
“ketergantungan”.Namun, konselor adiksi juga bekerja dengan orang yang kecanduan
berjudi, kecanduan belanja, dan aktifitas lainnya.Konselor adiksi menangani
klien ketergantungan dengan berbagai hal juga, tidak hanya NAPZA
illegal.Misalnya, seorang konselor adiksi mungkin juga membantu seseorang yang
ingin keluar dari ketergantungannya terhadap rokok atau minuman, atau membantu
klien yang dalam ketergantungan obat-obatan resmi yang diberikan sebagai resep
dalam pengobatan.
Misalnya, di
Amerika Serikat seorang profesional bersertifikasi dalam bidang kecanduan (Certified Addiction Professional/CAP)
diakui dapat menangani kecanduan setelah menyelesaikan pelatihan di bawah
pengawasan dan lulus dalam ujian. Lisensi konselor adiksi (A Licenced Addictions Counselors/LAC) harusnya telah berhasil
menyelesaikan setidaknya pelatihan
konseling formal penyalahgunaan zat untuk menjadi konselor adiksi. Opsi lain
adalah dengan mengeluarkan sertifikasi bagi konselor alcohol dan NAPZA (Certification for Alcohol and Drug
Counselors/CADC) dengan jenjang kesarjanaan, dengan sejumlah jam kerja
konseling yang disupervisi, danmenyelesaikan kualifikasi pelatihan khusus.
Jenjang master program konselor NAPZA meliputi master dalam konseling kecanduan
(the Master's in Addiction Counseling
/MAC), yang mensyaratkan beberapa tugas ke-masterannya.Sebaiknya ditanyakan dulu
mengenai pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan oleh lembaga penyedia
layanan NAPZA ketika seseorang ingin bekerja di tempat itu, karena kualifikasi
yang dipersyaratkan tergantung kebutuhan secara lokal di seluruh belahan dunia.
Kemampuan
untuk memahamipengaruh beragam NAPZA dengan belajar formal ilmu farmasi
diperlukan, dengan tidak melihat dimana anda belajar, jika anda ingin jadi
konselor NAPZA anda harus mengambil juga “teori” NAPZA dari orang yang
benar-benar menderita kecanduan. Misalnya, sangat penting untuk belajar
mengenai gejala withdrawal (gejala
putus zat) dari beragam obat, namun juga memahami bagaimana seorang pecandu
merasakanketika tubuhnya disapih atau dihentikan dari suatu jenis NAPZA dalam
detoksifikasi atau program detoks.Dengan memahami akibat detoks, dimana tahap
pertama adalah mengobati kecanduan dan berarti NAPZA tidak lagi ada di dalam
badan si pecandu, dapat membantu konselor adiksi untuk dapat memahami tingkah
laku pecandu.
Misalnya,
pengaruh fisik withdrawal dari NAPZA akan sangat sakit sekali; pecandu lebih sensitif
dan gampang tersinggung dan dapat mencaci konselor secara verbal. Jika ingin
menjadi konselor NAPZA, mungkin sebaiknya juga harus bekerja samaproses
detoksifikasi dengan pecandu yang memiliki pengalaman keras dalam gejala
withdrawal seperti muntah, penyerangan, menggigil hebat, sakit badan,
peningkatan detak jantung, dan kecemasan. Setelah periode detoks awal, pecandu
biasanya menderita kerinduan secara psikologis terhadap NAPZA dimana tugas konselor
membantu mereka untuk melaluinya.
2. Kompetensi konselor
ketergantungan NAPZA
Konselor, bekerja
secara bergantian (termasuk malam hari) di tempat rehabilitasi NAPZA mungkin
diperlukan jika menjadi konselor NAPZA.Pusat rehabilitasi biasanya menyediakan
ruangan khusus untuk pecandu di tempat mereka tinggal selama beberapa minggu
atau beberapa bulan sambil belajar untuk menghadapinya tanpa NAPZA atau alkohol.Ketika
detoksifikasi fisik telah selesai, banyak tugas menunggu, seperti terapi kelompok
dan terapi individu. Selama sesi terapi rehabilitasi kelompok, individu
didorong oleh konselor NAPZA untuk berpartisipasi dalam diskusi mengenai kejadian
signifikan pada latar belakang keluarga
atau trauma emosional lainnya yang memainkan bagian peran dalam mengarahkan
pecandu memakai NAPZA. Jika ingin menjadi konselor NAPZA, keterampilan
mendengar yang baik dan sikap yang menunjukkan kasih sayang, diperlukan. Secara
singkat, kompetensi minimal para petugas atau konselor ketergantungan NAPZA,
untuk idealnya mereka
diharapkan menguasai keterampilan-keterampilan sebagai berikut:
a.
Keterampilan dasar
1)
Model-model Adiksi
2)
Model-model
penanganan terapi dan rehabilitasi NAPZA yang tersedia
3)
Klasifikasi NAPZA
4)
Masalah Psikologis
terkait
5)
Assessment,
Diagnosa dan Rujukan
6)
Proses Perawatan
(Treatment), Penyembuhan (Recovery), Kekambuhan (Relapse)
7)
Penggunaan jarum
suntik dan HIV AIDS
8)
Pribadi sebagai
konselor
9)
Keterampilan dasar
Konseling
10)
Keterampilan
Wawancara Terapeutik
11)
Keterampilan
Menangani masalah Absensi / kehadiran Klien dan Observasi
12)
Keterampilan
Analisa Budaya
b.
Keterampilan
Lanjutan
1)
Keterampilan
Paraphrasing
2)
Keterampilan
Memberikan Feed Back
3)
Keterampilan
Menggali / Probing
4)
Keterampilan
Mencatat dan Merefleksikan Perasaan
5)
Keterampilan
Mendengar Efektif
6)
Keterampilan
Konfrontasi Efektif
7)
Keterampilan
Memotivasi Klien
8)
Keterampilan
Bersikap Asertif
9)
Keterampilan
Meningkatkan Harga Diri
10)
Keterampilan
Mengambil Keputusan
11)
Keterampilan
Menentukan Tujuan Hidup
12)
Keterampilan
Menutup Pribadi Konselor
13)
Keterampilan
Konseling Kelompok
14)
Keterampilan
Memfasilitasi Kelompok
15)
Keterampilan
Mengembangkan / Memfasilitasi Kelompok Terapeutik
16)
Keterampilan
Kepemimpinan
17)
Keterampilan
Analisa Masalah dan Intervensi
18)
Keterampilan
Konseling Keluarga, Pasangan dan Orang terdekat
19)
Keterampilan Terapi
Keluarga
20)
Keterampilan
Mengembangkan Kelompok Dukungan Keluarga (Family Support Group)
21)
Keterampilan
Manajemen Kasus
22)
Keterampilan
Pengawasan
23)
Keterampilan
Mengatasi Kecemasan Klien
24)
Keterampilan
Tentang Etika dan Masalah Hukum
25)
Keterampilan
dokumentasi dan catatan
c.
Perkembangan
Terbaru
1)
Perkembangan
upaya-upaya Represi yang telah dilakukan
2)
Perkembangan
upaya-upaya Prevensi yang telah dilakukan
3)
Perkembangan
upaya-upaya Regulasi dan Rujukan
d.
Masalah-masalah
Medik
1) Penyakit-penyakit yang umumnya muncul pada kasus ketergantungan NAPZA
2)
Penanganan Gawat
Darurat
3)
Penanganan Gejala
Withdrawal
4)
Penanganan kasus
komorbiditas
5)
Program Methadone
6)
Pendekatan
detoxifikasi
7)
Pendekatan medik
pendukung
C. Dewan Konselor Adiksi
1.
IKAI (Ikatan Konselor Adiksi Indonesia) sebagai
Cikal Bakal berdirinya Dewan Konselor Adiksi di
Indonesia
a. Definisi
Merupakan organisasi profesi yang berbasis kompetensi dan evidence bagi praktisi yang bergerak dalam kegiatan prevensi dan atau intervensi penggunaan, penyalahgunaan dan adiksi NAPZA di Indonesia.
Praktisi selanjutnya disebut sebagai konselor adalah warga negara Indonesia yang telah melewati pendidikan, training, yang berkaitan dengan ilmu konseling, terapi, perawatan penggunaan, penyalahgunaan, dan adiksi NAPZA.
Merupakan organisasi profesi yang berbasis kompetensi dan evidence bagi praktisi yang bergerak dalam kegiatan prevensi dan atau intervensi penggunaan, penyalahgunaan dan adiksi NAPZA di Indonesia.
Praktisi selanjutnya disebut sebagai konselor adalah warga negara Indonesia yang telah melewati pendidikan, training, yang berkaitan dengan ilmu konseling, terapi, perawatan penggunaan, penyalahgunaan, dan adiksi NAPZA.
b. Latar belakang pendirian IKAI
1)
Perbandingan yang tidak seimbang antara jumlah
pecandu NAPZA di Indonesia dengan jumlah profesi konselor adiksi yang ada.
Seiring dengan meningkatnya jumlah pecandu yang ada di Indonesia, model dan
metode layanan terapi adiksi menjadi semakin kompleks dan variatif, baik dalam
segi pendekatannya maupun mekanisme programnya. Hal ini pun berbanding terbalik
dengan sarana dan wahana yang ditujukan ke para praktisi, yang senantiasa
memerlukan peningkatan kapasitas diri baik dalam segi keilmuan maupun
pengembangan karakteristik pribadi.
2)
Standar kompetensi konselor adiksi
Maraknya model dan metode terapi rehabilitasi
NAPZA di Indonesia membuat standar kompetensi dari konselor adiksi menjadi
beranekaragam macamnya.Hal ini dirasa dapat membuat interpretasi masyarakat
terhadap konselor adiksi menjadi bias. Sehingga ironisnya perbedaan pemahaman
antara After care dan konselor adiksi menjadi bercampur.
3)
Pengakuan profesi konselor adiksi
Posisi profesi
konselor adiksi pada umumnya di instansi atau lembaga yang ada bisa dikatakan
di dalam “grey area”. Hal ini
dikemukakan berdasarkan proses atau mekanisme pemberian predikat terhadap
konselor adiksi itu sendiri yang belum jelas, dan umumnya jalur pencapaiannya
melalui jalur internasional. Hal lainnya lagi adalah kejelasan pengakuan
tentang standard kesejahteraan minimum yang harus diterima oleh seorang
konselor adiksi, serta standar deskripsi kerja.
c.
Visi dan Misi
1) Visi
Sebagai wadah
praktisi yang bergerak dalam kegiatan prevensi dan atau intervensi penggunaan,
penyalahgunaan, dan adiksi NAPZA yang profesional saling membantu dan mendukung
satu sama lain dalam mengembangkan potensi untuk berpatisipasi dan berperan
aktif dalam program nasional penanggulangan adiksi NAPZA
2)
Misi
Meningkatkan
kapabilitas, profesionalisme, integritas, akuntabilitas, kesejahteraan praktisi
yang bergerak dalam kegiatan prevensi dan atau intervensi penggunaan, penyalahgunaan,
dan adiksi dengan menciptakan lingkungan yang terapeutik dalam menghadapi
adiksi di Indonesia
d. Anggota IKAI terdiri dari Konselor Adiksi yang bergerak dalam kegiatan
konsultasi prevensi
dan atau intervensi penggunaan, penyalahgunaan, dan adiksi NAPZA
di Indonesia. Mereka
termasuk konselor adiksi profesional maupun konselor adiksi
yang memberikan layanan kepada masyarakat.
e. Konselor adiksi memberikan layanan secara profesional atas dasar
pengetahuan ilmu konseling
dan pendekatan modalitas terapi dan perawatan adiksi
NAPZA. Konselor Adiksi terikat dengan sekumpulan kode etik. Konselor adiksi
harus bertanggung jawab dan memiliki akuntabilitas kepada penerima layanan (klien)
dan mitra penyedia layanan (Pusat Perawatan, Pusat Konseling dan Pusat layanan
sejenisnya).
f.
IKAI didirikan dengan tujuan untuk memberikan
pengakuan profesional bagi konselor adiksi
melalui proses sertifikasi
pengetahuan, kemampuan dan kompetensi mereka. Memberikan kesempatan bagi
konselor adiksi untuk meningkatkan profesionalisme dan pendidikan dalam bidang
adiksi. Mendukung terciptanya perlindungan hukum bagi konselor adiksi dalam
memberikan layanan kepada masyarakat.
g. Selain itu, IKAI turut aktif mendorong terciptanya kebijakan publik
yang mendukung serta
berpihak kepada pelaksanaan program terapi dan perawatan
akibat penggunaan, penyalahgunaan dan adiksi NAPZA di Indonesia. Membina
hubungan dan kemitraan yang baik dengan komunitas-komunitas perawatan dan
pemulihan adiksi NAPZA, komunitas lembaga swadaya masyarakat, komunitas medis,
komunitas agama, komunitas pendidikan, komunitas bisnis dan lembaga-lembaga
pemerintah.
h. Pendiri
Melalui
“Deklarasi Batavia” 25 Juli 2008 oleh :
1)
Adzani Dompas
2)
Dody Nasrul
3)
Eri Wibisono
Soenggoro
4)
Ferry Farhat
5)
Frans Siagian
6)
Hadi Yusfian,
7)
Janatha Ananda
Putera
8)
Narendra Narotama
9)
Rahardjo Zaini,
10)
Risa Fauzi Alexander
11)
Steven Moniaga
i.
Struktur organisasi
Nasional
1)
Ketua nasional :
Narendra Narotama
2)
Wakil ketua nasional : Risa
Fauzi Alexander
3)
Sekretaris :
Rahardjo Zaini
4)
Administrasi dan umum : Tri Budi
Utami
j.
Struktur organisasi propinsi DKI Jakarta pada
saat ini ;
1)
Ketua propinsi `:
Achmad
2)
Panitia pendukung :
a)
Basyir Ahmad
b)
Julian Shandy
c)
Bathius
d)
Sonny Tri Purwanto
3)
Sekretariat : Jl.Kikir No 72, Kayu Putih 13210
Telp/fax : (021) 3583 5505/475 6039
Website
:www.adiksi.org
k. Motto
Dukung kegiatan
kami dalam rangka mewujudkan profesi konselor adiksi yang profesional dan
berkualitas."Profesional dalam membimbing, membimbing untuk lebih
profesional"
2. Dewan Konselor Adiksi
Dengan
beragamnya pandangan mengenai apa itu konselor adiksi di Indonesia, maka
semakin diperlukan batasan formal yang ditandai dengan sertifikasi, seperti
profesi-profesi lain. Setidaknya IKAI memberikan gambaran mengenai sertifikasi
konselor adiksi di Indonesia.Seperti profesi lain, biasanya di Indonesia
mengikuti profesionalisme yang terlebih dahulu sudah berkembang di negara lain,
terutama di Negara maju seperti Amerika Serikat. Maka sebagai wacana, maka akan
dikemukakan dewan konselor adiksi di dua Negara bagian Amerika Serikat.
Lisensi konselor
adiksi di Amerika Serikat(Negara Bagian New Dakota) yang didirikan tahun 1987,
lembaga legislatifnya membentuk membentuk Dewan Penguji Konseling Adiksi (the North Dakota Board of Addiction
Counseling Examiners), yang bertujuan:
a. Menentukan standar minimum bagi lisensi konselor adiksi
b. Menentukan kurikulum inti yang diperlukan
c. Memberikan persetujaun terhadap program pelatihan konselor adiksi,
masa belajar suatu keahlian, dan supervisi klinis
d. Menentukan persyaratan praktek mandiri dan konseling kecanduan
Sedangkan dewan sertifikasi konselor adiksi Negara bagian Oregon di
Amerika Serikat (Addiction
Counselor Certification Board of Oregon /ACCBO), membaginya ke dalam
klasifikasi yang lebih spesifik:
a.
Sertifikasi
Konselor NAPZA dan Alkohol I (Certified Alcohol Drug Counselor I/CADC I)
1)
Pendidikan NAPZA
dan alcohol selama 150 jam
Semua jam pendidikan harus diakreditasi
atau disetujui oleh lembaga akreditasi yang dikenal/diakui. Jam pendidikan
harus meliputi topik wilayah berikut:
a)
Keterampilan
konseling dasar
b)
Keterampilan
konseling kelompok
c)
Penyalahgunaan ilmu
kimia dari NAPZA dan alcohol
d)
Etika-etika
2)
1.000 jam
pengalaman yang disupervisi dalam kompetensi konselor adiksi. Seluruh jam harus
disupervisi oleh supervisor klinis yang memiliki kualifikasi
3)
Surat verifikasi,
yang menjelaskan setidaknya telah 2 tahun bebas NAPZA bagi konselor adiksi yang
berasal dari pecandu NAPZA.
4)
Bersedia mengikuti
aturan
5)
Lulus dalam ujian
yang ditentukan oleh CADC I (tes tulisNAADACs)
b.
Sertifikasi
Konselor NAPZA dan Alkohol II (Certified Alcohol Drug Counselor II/CADC II)
1)
Tingkat sarjana
(atau ekivalen-setidaknyapenggabungan dan kombinasi kursus-kursus akademis
dengan spesialisasi pelatihan dalam konseling adiksi). Kompetensi yang setaraf
dengan tingkat kredit sarjana muda/jam yang dipersyaratkan) dengan minimal
pendidikan NAPZA dan alcohol 300 jam.
2)
Semua jam
pendidikan harus diakreditasi oleh lembaga akreditasi yang dikenal/diakui. Jam
pendidikan harus meliputi topik wilayah berikut:
a)
Keterampilan
konseling dasar
b)
Keterampilan
konseling kelompok
c)
Penyalahgunaan zat
kimia dari NAPZA dan alcohol
d)
Asesmen resiko
HIV/AIDS dan resiko pengurangannya
e)
Etika-etika
f)
Konseling populasi
beragam/berbeda
g)
Asesmen atau
manajemen pencatatan klien, dan lain-lain
h)
Penyimpangan hidup
bersama (dalam hal sosialisasi dengan orang lain?), diagnosis yang beragam
(multiple diagnosis), atau dual diagnosis, dan sebagainya.
3)
4.000 jam
pengalaman yang disupervisi dalam kompetensi konselor adiksi. Seluruh jam harus
disupervisi oleh supervisor klinis yang memiliki kualifikasi
4)
Surat verifikasi,
yang menjelaskan setidaknya telah 3 tahun bebas NAPZA bagi konselor adiksi yang
berasal dari pecandu NAPZA.
5)
Bersedia mengikuti
aturan
6)
Lulus dalam ujian
yang ditentukan oleh CADC II (tes tulis
NAADACs)
7)
Ujian Presentasi Kasus
NAADACs.
Ketika kandidat lulus dari ujian tulis
NCAC II, konselor akan diberi sertifikasi CADC I bersamaan dengan instruksi
bagaimana mempersiapkan sebuah Ujian kasus Presentasi Kasus yang lengkap. Jika
telah berhasil menyelesaikan Ujian Presentasi Kasus, konselor akan diberi
sertifikat lulus CADC II. Kandidat harus berhasil menyelesaikan Ujian
Presentasi Kasus dalam kurun waktu 4 tahun.
|
Rentan
Eksploitasi, Mantan Pecandu
NAPZA
Perlu Kerahasiaan
Di depan sekumpulan murid sekolah, seorang pemuda yang
mengaku sebagai mantan pecandu yang sudah pulih selama empat bulan bercerita
tentang pengalaman hidupnya. Bagaimana ia sampai bisa terperosok ke dalam dunia
adiksi (kecanduan) hingga akhirnya ia dapat pulih dari ketergantungannya.
Beberapa tahun belakangan ini, hal seperti ini sering
kita temui dalam seminar-seminar NAPZA dan tak kalah sering juga kita jumpai
dalam berbagai media cetak dan elektronik, terutama jika pada saat menjelang
peringatan hari Anti-Madat ataupun hari AIDS sedunia.
Memang tak ada yang salah dengan hal ini. Asalkan memang
dilakukan secara sukarela. Selama tak ada unsur-unsur yang bersifat paksaan,
semuanya sah-sah saja. Tapi apakah saatnya sudah tepat bagi si pecandu
tersebut? Apakah kesaksian ini memang benar-benar sangat diperlukan? Bukankah
masih banyak cara lain yang dapat ditempuh jika kita memang ingin memberikan
pelajaran melalui contoh kasus.
Perlu diingat bahwa seorang mantan pecandu NAPZA sangat
rentan terhadap eksploitasi. Hal ini dapat terjadi dengan disengaja ataupun
tanpa disengaja, baik secara sadar maupun tanpa disadari.
Hal seperti ini sudah terpikirkan sejak lama oleh para
pecandu yang tergabung dalam komunitas Narcotics
Anonymous (NA). Oleh sebab itu azas konfidensialitas atau
kerahasiaan yang diimplementasikan melalui anonimitas dalam pertemuan-pertemuan
NA sudah menjadi landasan spiritual yang paling utama sejak berdirinya
komunitas ini. Setiap kali pertemuan NA akan berakhir para pecandu yang hadir
selalu diingatkan untuk menjaga kerahasiaan orang-orang yang mereka temui di
dalam pertemuan itu. “Siapa
yang anda lihat disini dan apa yang anda dengar disini, biarlah tetap tinggal
disini.”
Azas konfidensialitas ini sudah menjadi prioritas utama
dalam konseling tes sukarela HIV atau Voluntary
Counseling Testing (VCT). Tapi bagaimana dengan konseling adiksi?
Seringkali hal ini terabaikan atau bahkan terlupakan sama sekali. Konselor
adiksi sering kali merasa mempunyai hak penuh atas kliennya. Dan tidak jarang
yang akhirnya menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya dengan mengabaikan hak
seorang klien untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk eksploitasi.
Contoh kasus yang paling sering terjadi adalah seorang
konselor membocorkan rahasia mengenai identitas kliennya yang sedang menjalani
perawatan kepada orang luar yang tidak berkepentingan dalam hal perawatan
pecandu. Atau mungkin yang cukup sering terjadi adalah konselor memerintahkan
kliennya untuk melakukan testimoni atau kesaksian di depan umum tanpa meminta
persetujuan si klien sendiri. Bahkan jika memang sang klien telah setuju
sekalipun, apakah kita dapat menjamin ini memang keputusan murni klien
tersebut?
Penting untuk diingat bahwa posisi seorang konselor
adiksi dan kliennya adalah posisi yang tidak seimbang. Seorang klien akan sulit
untuk berkata “tidak” terhadap permintaan konselornya. Selain itu apakah bukan
sebuah keputusan yang terburu-buru jika kita meminta seorang mantan pecandu
NAPZA yang baru “bersih” dalam hitungan bulan untuk menceritakan kesaksiannya
di muka umum. Jangan sampai hal tersebut justru akan menimbulkan penyesalan di
kemudian hari.
Oleh sebab itu dalam hal rehabilitasi pecandu NAPZA
sangat diperlukan adanya batasan dan “aturan main” yang jelas antara konselor
dan kliennya. Hal ini perlu untuk melindungi hak-hak seorang klien dan juga
agar konselor dapat bersikap profesional dalam melaksanakan pekerjaannya.
Selain menjaga kerahasiaan kliennya, seorang konselor adiksi juga dituntut
untuk dapat bersikap obyektif. Disamping itu, seorang konselor diharapkan dapat
menjadi pendengar yang baik bagi kliennya tanpa memberikan penilaian apalagi
menghakiminya.
Kembali lagi bahwa memang tidak ada yang salah dalam hal
ini. Selama sistem hukum kita belum mengaturnya secara jelas, semuanya masih
sah-sah saja. Semuanya tergantung suara hati kita masing-masing, apakah sudah
pantas yang kita lakukan selama ini? Mari bersama-sama kita belajar untuk
peduli dan belajar untuk menghargai hak-hak orang lain tanpa pernah mencoba
untuk memaksakan keinginan kita, dimulai dari diri kita sendiri. “Let it begin with me!”
Evan J. Pangkahila
REHABILITASI TAK HARUS BERTERALI
“Aku tidak
mau dimasukan ke rehab, dikurung kayak dipenjara dan diperlakukan seperti orang
gila, biar aku berhenti sendiri saja,” ungkap salah seorang pecandu aktif
(pecandu yang masih menggunakan NAPZA).
Hingga saat
ini banyak orang masih berpandangan, bahwa rehabilitasi terhadap kecanduan
NAPZA, masih menggunakan konsep lama, dimana seorang pecandu akan diperlakukan
dengan keras agar mereka jera.
Sebagian
besar pecandu aktif yang telah lama menggunakan NAPZA, umumnya akan merasa
jenuh serta jera dengan kecanduannya. Akan tetapi karena penyakit kecanduannya
lebih powerful
dari diri mereka sendiri, maka sulit bagi mereka untuk bisa menghentikan
penggunaan NAPZAnya sendirian.
Lalu
bagaimana sebaiknya menangani masalah kecanduan ini?Hingga saat ini untuk
sebagian besar kasus kecanduan, rehabilitasi adalah solusi terbaik.
Tentunya
program rehabilitasi tersebut haruslah memiliki kriteria yang sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar program rehabilitasi, antara lain :
• Memandang klien (pecandu dalam
program rehabilitasi) apa adanya sebagai manusia, dan mendahulukan kepentingan
klien.
• Mempunyai kepercayaan bahwa klien dapat
berubah, seberat apapun masalahnya.
• Mengikutsertakan klien
dalam menyusun rencana perawatan, untuk menambah tekad
klien dalam menjalani
pemulihan.
• Memiliki komitmen dan tidak
mudah putus asa. Tetap melanjutkan upaya walaupun
telah sering mengalami
kekecewaan dan kegagalan.Serta kreatif mencari pendekatan yang lebih efektif.
• Dapat menerapkan batasan-batasan yang jelas
dalam interaksi antara clinical
staff (Staf ahli dalam program rehabilitasi) dengan klien.
•
Memiliki kode etik yang jelas, dalam menjalani fungsi program.
• Menjaga
kerahasiaan/konfidensialitas klien.
• Memiliki fasilitas
yang cukup memadai.
Berdasarkan
prinsip-prinsip tersebut, pecandu haruslah diperlakukan sebagai manusia.Berarti
mereka berhak menentukan pilihan atas hidupnya sebagai pribadi yang utuh.
Tugas dari
program rehabilitasi adalah memotivasi mereka untuk melakukan perubahan ke arah
positif serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mereka untuk melakukan
perubahan.
Selain itu
program rehabilitasi juga harus menjalankan minimal 3 peraturan utama (cardinal rules) seperti :
1. No Drugs/Total Abstinence (tidak
ada penggunaan NAPZA dalam jenis apapun termasuk
alkohol)
2. No Sex
(tidak ada tindakan seksual)
3. No Violence (tidak
ada tindakan kekerasan)
Hingga saat ini sudah banyak program rehabilitasi yang
menerapkan prinsip-prinsip dasar seperti tersebut di atas.
Sebagai salah satu contoh, program rehabilitasi di
Yayasan Bali Nurani, yang berada di Bali. Dalam program rehabilitasi ini, klien
(pecandu) tidak akan dipaksa apalagi dikurung dalam menjalani program
pemulihannya.
Klien hanya akan dimotivasi untuk bisa melihat pemulihan
sebagai sebuah kebutuhan yang utama bagi dirinya. Serta diminta untuk bekerja
sama mematuhi peraturan program yang sebagian juga dibuat bersama-sama dengan
para klien.
Klien juga diperkenankan mengikuti kegiatan di luar
fasiliti program, seperti aktifitas kebugaran, kesenian, rekreasi dan
pertemuan-pertemuan kelompok dukungan seperti NA dan AA (Narkotik Anonimus dan
Alkoholik Anonimus).
Yang lebih menarik ternyata program ini memiliki subsidi
atau bea-siswa bagi mereka yang tidak mampu secara finansial, tetapi memiliki
niatan yang kuat untuk berhenti menggunakan NAPZA.
Berdasarkan hal ini, sebaiknya kita mulai menyingkirkan
mitos bahwa program rehabilitasi adalah sebuah proses yang menakutkan. Atau
bahkan pandangan bahwa pecandu tidak memiliki kesempatan untuk berubah.
Sesungguhnya pintu menuju pemulihan bagi pecandu sudah
terbuka lebar. Asalkan ada niat yang kuat, jalan keluar akan terbuka
lebar.
Oscar Parulian
Silalahi
KECANDUAN SEBAGAI SEBUAH PENYAKIT
Maraknya
penggunaan NAPZA suntik beberapa tahun belakangan ini telah mengakibatkan
meningkatnya penularan HIV.Hal ini disebabkan oleh perilaku para pengguna NAPZA
suntik yang sering kali bertukar jarum suntik.Selain itu perilaku kriminal pun
kerap terjadi sebagai dampak dari kecanduan terhadap NAPZA dan Alkohol.
Tapi
apakah sebenarnya kecanduan atau Adiksi itu?Perlu diketahui bahwa ada beberapa
teori yang menjelaskan mengenai Adiksi. Menurut Dennis L. Thombs dalam bukunya
yang berjudul Introduction
To Addictive Behaviors ada beberapa teori mengenai Adiksi. Yang
pertama adalah Religious
Model (Model Religi) yaitu pandangan yang menganggap bahwa Adiksi
disebabkan oleh karena kurangnya pemahaman seseorang terhadap nilai-nilai dari
ajaran agama yang dipercayai oleh orang tersebut.Dan hal ini berakibat pada
kurangnya keyakinan atau iman seseorang. Menurut pandangan ini pendidikan agama
akan dapat menyembuhkan seorang pecandu dari ketergantungannya.
Teori
berikutnya adalah Moral
Model (Model Moral),
yaitu sebuah pemikiran yang memandang penyebab dari terjerumusnya
seorang pecandu ke dalam dunia kecanduan karena telah terjadi degradasi moral
pada si pecandu tersebut.Oleh sebab itu teori ini beranggapan bahwa untuk dapat
menyembuhkan seorang pecandu maka harus melalui tempaan yang disertai dengan
penanaman nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, misalnya adalah dengan
menghukum seorang pecandu dengan hukuman penjara.
Sebuah
paradigma baru mengenai Adiksi yang telah berkembang dalam beberapa dasawarsa
terakhir adalah apa yang disebut dengan Disease
Model (Model Penyakit), yaitu sebuah pandangan yang menganggap
Adiksi atau kecanduan sebagai sebuah penyakit. Pandangan ini menganggap bahwa
seseorang menjadi pecandu bukan karena kesalahan dari diri orang tersebut
ataupun lingkungannya.Akan tetapi karena memang berkembangnya sebuah penyakit
yang bernama Adiksi dalam diri orang tersebut.Penyakit Adiksi ini bersifat
kronis, progresif, dan fatal.
Dr.
Elfrin Jellineck mengembangkan dasar medis dari paradigma ini setelah melakukan
riset terhadap Alkoholisme di Amerika pada tahun 1960an. Beberapa tahun
sebelumnya, pada tahun 1956 Alcoholism
secara resmi dikenal sebagai sebuah penyakit yang memerlukan
perawatan medis oleh American
Medical Association. Bahkan lebih awal lagi, pada tahun 1930an,
sebuah gerakan pemulihan dari Alkoholisme di Amerika Serikat yang menyebut
dirinya Alcoholics Anonymous
(AA) telah mengadopsi konsep Disease
Model ini sebagai teori dasar mereka mengenai kondisi
ketergantungan terhadap Alkohol ini. Gerakan tersebut kini sudah mendunia dan
melahirkan komunitas baru yang disebut Narcotics
Anonymous (NA) yang menggunakan dasar teori yang sama, hanya saja
pada komunitas ini diterapkan pada ketergantungan terhadap NAPZA, suatu bukti bahwa
Disease Model ini
dapat menjelaskan ketergantungan terhadap semua zat yang disalahgunakan. Perlu
dicatat, dalam perkembangannya, Disease
Model ini kemudian “bercabang’ dan mempunyai beberapa bentuk
variatif.Komunitas medis pengusung teori ini melihatnya sebagai gejala penyakit
yang terdapat di otak manusia. Sedang komunitas pemulihan seperti AA dan NA
berpendapat bahwa ruang lingkup dari efek penyakit ini jauh melampaui sekadar
proses biokimia dalam diri seseorang yang kecanduan, tetapi juga merambah ke
aspek spiritual atau kerohanian orang tersebut.
Tetapi
kesamaan pada beberapa varian teori Disease
Model ini terletak pada pandangan bahwa seseorang yang mempunyai
penyakit kecanduan tidak semestinya bertanggungjawab atau disalahkan karena
mengalami kecanduan, karena seperti halnya penyakit kronis lain seperti
Diabetes dan kanker, munculnya kondisi ini tidak selalu berhubungan langsung
dengan perilaku atau lingkungan orang tersebut. Pendapat ini sekaligus membantu
mengikis stigma yang menganggap bahwa seseorang menjadi pecandu disebabkan oleh
karena lemahnya karakter dan kepribadian dalam diri si pecandu, atau karena
lingkungan tempat tinggal atau keluarga yang tidak ideal, dan bahkan mematahkan
anggapan bahwa seseorang terjerumus ke dalam dunia Adiksi karena lemahnya iman
orang tersebut kepada Tuhan ataupun ajaran-ajaran agamanya.
Sejauh
ini di Indonesia dan khususnya di Bali beberapa pusat rehabilitasi telah
menggunakan pandangan Disease
Model ini dalam program perawatannya.Salah satunya adalah Yayasan Bali
Nurani, sebuah rehabilitasi yang berlokasi di daerah Monang Maning,
Denpasar.Sejak awal berdiri pada tahun 2004, Yayasan Bali Nurani telah
menerapkan Disease Model of
Addiction sebagai falsafah dasar program perawatannya. “Tampaknya
hal ini cukup efektif dalam membantu proses pemulihan para klien yang menjalani
rehabilitasi di tempat kami untuk dapat memahami permasalahan kecanduannya”,
kata Andrei Simanjuntak, Recovery
Unit Director Yayasan Bali Nurani. “Dengan memahami kondisi mereka
sebagai seorang pecandu, dan menyadari tidak perlunya seorang pecandu untuk
menyalahkan siapapun, termasuk dirinya sendiri, maka diharapkan akan timbul
penerimaan terhadap diri mereka. Sedangkan penerimaan terhadap kondisi ini
merupakan langkah awal dalam sebuah proses pembenahan diri dari segi fisik,
mental, emosi, dan rohani yang kemudian menjadi pemulihan seorang pecandu,”
lanjutnya.
Penting
untuk diketahui bahwa hingga saat ini dalam perkembangan permasalahan Adiksi
yang relatif masih tergolong sebagai ilmu baru ini, belum ada satu teori pun
yang dapat diklaim sebagai teori yang paling benar. Begitu juga dengan metode
perawatannya yang sampai saat ini belum ada satu pun metode perawatan ataupun
obat yang terbukti dapat “menyembuhkan” bagi semua pecandu, karena penyembuhan
berarti bahwa si pecandu tidak akan pernah kembali ke kecanduannya, dan dalam
menjamin hal ini belum ada satu pendekatanpun yang bisa berhasil seratus
persen.
Yang
perlu kita ingat adalah bahwa setiap usaha yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang setimpal (what goes around shall come around).
Evan J. Pangkahila
No comments:
Post a Comment