PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEJAHTERAAN SOSIAL
DI PROVINSI JAWA TIMUR
oleh : Nenden Desnawati
A. KONDISI SDM DI JAWA TIMUR
Kualitas
SDM Indonesia belum mampu menciptakan lapangan kerja sendiri yang muncul dari
jiwa wirausaha. Mental yang terbangun adalah mencari pekerjaan, bukan
menciptakan pekerjaan.
Salah
satu indikator lemahnya SDM ini bisa dilihat dari produktivitas seseorang dalam
menjalankan tugas kerja. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 68 tahun 1995,
beban kerja PNS dalam lima hari masuk adalah 37,5 jam per minggu. Kenyataannya,
PNS masih banyak yang mencuri waktu pada jam kerja efektif. Mulai menambah jam
istirahat, jam makan, hingga keluar kantor untuk kepentingan pribadi.
Selain
itu, sikap kurang disiplin waktu, etos kerja yang rendah, tanggung jawab terhadap
pekerjaan, hingga gaji yang relatif rendah memengaruhi produktivitas kerja PNS
secara perorangan dan kolektif.
Di
Malaysia, pegawai bekerja 45 jam per minggu, Singapura 42 jam per minggu, di
Thailand dan Korea, pegawai negeri bekerja 40 jam per minggu. Tak heran, kajian
Kementerian PAN dan UI, beberapa waktu lalu menyebutkan, produktivitas pegawai
negeri di Indonesia masih rendah.
Dari
data komposisi, PNS berpendidikan SLTA ke bawah ada sekitar 41,6 persen. PNS
berpendidikan Diploma I s/d Diploma III/Sarjana Muda ada sekitar 25 persen.
Selanjutnya hanya 31,9 persen PNS yang berpendidikan Diploma IV/ S1 s/d S3.
Kondisi saat ini
menunjukkan bahwa SDM aparatur yang ada sangat jauh dari apa yang diharapkan. Potret SDM aparatur saat ini menunjukkan profesionalisme rendah, banyaknya praktek KKN yang melibatkan aparatur, tingkat gaji yang
tidak memadai, pelayanan kepada
masyarakat yang berbelit-belit,
hidup dalam pola patron-klien, kurang
kreatif
dan inovatif, bekerja berdasarkan juklak dan juknis serta mungkin masih banyak potret negatif lainnya yang intinya menunjukkan bahwa aparatur di
Indonesia masih lemah. Gambaran tersebut memberikan dorongan bagi kita untuk melakukan
perubahan pada SDM aparatur Indonesia
(kita sebut dengan istilah Reformasi Birokrasi).
Pemerhati
birokrasi mendorong pemerintah mengedepankan pengelolaan SDM aparatur
pemerintah dengan manajemen kepegawaian berbasis kinerja. Penataan PNS ini
bertujuan memperbaiki komposisi dan distribusi pegawai, sehingga dapat didayakan
secara optimal. Saat ini, distribusi PNS belum sesuai dengan distribusi tugas
pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota.
Di
tingkat pusat, PNS berjumlah 876.537 (23,18 persen, provinsi 289.680 (7,6
persen) dan PNS di tingkat daerah kabupaten/kota 2.614.148 (69,15 persen).
Daerah-daerah di luar Pulau Jawa terjadi kekurangan pegawai (guru, dokter dan
tenaga medis), termasuk di Jawa Timur.
Jumlah PNS Pemprov Jatim saat ini sekitar 23.000
orang, masih kekurangan sekitar 8.600 orang. Sekdaprov Jatim Rasiyo mengatakan,
banyaknya posisi lowong itu karena setiap tahun ada sedikitnya 1.500 PNS
pensiun. “Itu berdasar laporan dari semua SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah)
di lingkungan pemprov,” tegasnya.
Pemerintah
pusat melalui SK Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Men PAN dan RB) Nomor 278.F/M.PAN/RB/07/2010 tentang Persetujuan Prinsip
Formasi Calon PNS 2010 tertanggal 21 Juli hanya mengalokasikan jatah CPNS untuk
pemprov Jatim sebanyak 283 orang. Dari jumlah itu, 97 untuk tenaga kesehatan
dan 186 sisanya untuk tenaga teknis. Rasio menyatakan, pihaknya sudah mengirim
surat ke MENPAN dan Reformasi Birokrasi untuk minta tambahan kuota 180 CPNS.
“Tapi hingga kini belum ada balasan,” jelas mantan Kadindik Jatim ini.
Rekrutmen CPNS dipastikan lebih ketat dibanding tahun-tahun sebelumnya, karena
yang dinilai tidak hanya kepandaian, melainkan juga perilaku. Hal itu dilakukan
agar dapat menjaring CPNS yang lebih professional, dapat menjaring SDM berkualitas tinggi dan punya latar belakang status
ekonomi sosial baik, sehingga keberadaannya sebagai abdi negara memiliki
kontribusi besar dalam meningkatkan produktivitas.
Untuk
mewujudkan kualitas PNS dengan standar tinggi, salah satunya ditentukan dalam
tahapan rekruitmen. Kalau proses seleksi dilaksanakan objektif dan transparan,
hanya akan terjaring kader-kader bangsa yang memiliki integritas dan kualitas
tinggi.
Sejak
2005, Pemerintah tidak membuka pendaftaran CPNS jalur umum dan memprioritaskan
mengangkat pegawai honorer yang masuk dalam database Badan Kepegawaian Negara
(BKN) dan diangkat secara periodik hingga 2009. Pada tahun 2010, formasi CPNS 2010
yang dibutuhkan adalah tenaga guru, tenaga kesehatan, dan tenaga teknis,
seperti penyuluh lapangan perikanan, pertanian, dan koperasi serta UKM.
Berikutnya adalah pekerja pendukung, meliputi pengawas kendaraan bermotor,
pengawas transportasi, dan pengawas ketenagakerjaan.
Gambaran
aparatur Negara dengan profesionalitas rendah, kebijakan sejak tahun 2005 yang tidak
membuka pendaftaran CPNS jalur umum hanya mengangkat pegawai honorer serta
sejak tahun 2008 prioritas formasi kebutuhan CPNS Jawa Timur adalah tenaga
guru, tenaga kesehatan dan tenaga teknis yang tidak menyebutkan pekerja sosial,
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pekerja sosial, khususnya fungsional
pekerja sosial di Jawa Timur, baik secara kualitas maupun kuantitas.
B. KOMPETENSI YANG
PERLU DITINGKATKAN DAN SUDAH DILAKSANAKAN
Kompetensi jabatan SDM
aparatur (PNS), secara umum berarti kemampuan dan karakteristik
yang dimiliki
seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, sikap,
dan perilaku, yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya (Mustopadidjaja, 2002). Disinilah kompetensi menjadi satu karakteristik yang mendasari individu atau seseorang mencapai kinerja tinggi dalam pekerjaannya. Karakteristik itu muncul dalam bentuk pengetahuan (knowledge), keterampilan
(skill), dan
perilaku (attitude) untuk menciptakan aparatur yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi dalam melayani masyarakat yang selalu bertindak hemat, efisien, rasional, transparan, dan akuntabel. Jadi, pelayanan publik merupakan pemberdayaan masyarakat yang pada gilirannya dapat menggerakkan roda
perekonomian menuju kesejahteraan. Untuk itu, diperlukan strategi peningkatan kompetensi SDM aparatur, dimana kompetensi yang memadai merupakan
sesuatu yang sangat
mutlak yang perlu dipahami
dan
dilaksanakan
oleh seluruh
jajaran
aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya tersebut, tentu saja perlu diperhatikan hak dari aparatur itu sendiri, yaitu mendapatkan kehidupan yang sejahtera baik dari aspek material maupun spiritual. Secara garis besar kewajiban yang harus dilaksanakan oleh aparatur di Indonesia adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat (excellent service for people). Agar
tugas pokok dan fungsi
serta kewajiban tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka harus didukung dengan sarana
dan prasarana yang memadai. Adanya peraturan yang jelas serta didukung dengan sumber daya manusia yang profesional dan handal merupakan faktor pendukung yang tidak boleh ditinggalkan. Sarana dan prasarana yang memadai, lengkap dan canggih akan mempercepat proses pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat, peraturan yang jelas dalam pemberian pelayanan masyarakat akan memberikan pedoman bagi aparatur dalam memberikan pelayanan.
Untuk membentuk sosok SDM
aparatur seperti tersebut memang memerlukan waktu dan proses yang lama serta upaya yang
tidak boleh berhenti. Manajemen kepegawaian perlu dibenahi,
yaitu
diawali dengan
melakukan
pola rekrutmen yang benar sesuai
dengan peraturan dan berdasarkan kompetensi.
Demikian pula dalam pengembangan pegawai, Penilaian Prestasi Kerja (PPK), pola
karir, penggajian, promosi, pemberhentian dan sebagainya. Semua perubahan itu perlu dilakukan dengan komitmen dan konsistensi yang tinggi. Perubahan yang
segera dapat dilakukan adalah peningkatan kemampuan atau kompetensi yang dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat)
maupun non diklat. Perubahan melalui diklat dapat dilakukan dengan melakukan berbagai kursus, pendidikan formal maupun non formal atau pendidikan lainnya yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan
atau kompetensi teknis maupun perubahan
pola pikir, moral, dan perilaku SDM aparatur. Meskipun merubah pola pikir, moral dan perilaku SDM aparatur melalui diklat memang tidak mudah, akan
tetapi tetap perlu dilakukan. Sementara peningkatan kemampuan
atau kompetensi melalui non diklat
dapat dilakukan
dengan menciptakan situasi dan kondisi kerja yang
kondusif untuk terjadinya
peningkatan kemampuan, melakukan mutasi secara berkala, menciptakan
hubungan antar personal yang harmonis dan lain sebagainya.
Sama
dengan proses umum, bahwa untuk mendapatkan
SDM kesejahteraan sosial yang professional termasuk fungsional pekerja
sosial, maka unsur pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku tidak bisa
dinafikan. Telah banyak upaya ke arah tersebut, namun bukan berarti tidak
menemui kendala.
Pola
rekruitmen pegawai pada era otonomi daerah mengutamakan SDM lokal sebagai
sumber, itu adalah hal baik, namun tidakkah bertentangan dengan prinsip pasar
bebas, siapapun dapat hidup dan berkarier dimanapun yang penting memiliki
kualifikasi yang dipersyaratkan. Di pihak lain rekruitmen CPNS pada masa
otonomi daerah memiliki kecenderungan mendahulukan “kedekatan” dengan elit
lokal. Rekruitmen disiasati dengan bekerja sebagai sukwan atau tenaga honorer
terlebih dahulu, sehingga kebutuhan tenaga fresh
graduate, cenderung terabaikan.
Dengan
bergulirnya desentralisasi disatu sisi membawa manfaat, di pihak lain membawa
kendala. Dengan desentralisasi pola karier seorang PNS tidak sulit untuk
“meloncat” ke instansi lain, namun di pihak lain kontradiktif dengan psinsip
kompetensi latar belakang pendidikan dan pengalaman. Pembelaan dirinya memang
telah ada prosedur (juklak dan juknis) pelaksanaan pola kerja di satu instansi,
namun di sisi lain apakah seseorang yang “meloncat” ke instansi lain dapat
begitu cepat mengadaptasikan diri dengan aturan, pola kerja, SDM instansi baru.
Diperparah lagi dengan “loncatan” dengan putaran yang elatif cepat, 6 bulan
misalnya, bahkan hitungan hari.
Penilaian prestasi kerja dalam tataran aturan sudah jelas
dan transparan, namun pada pelaksanaan seringkali mengikuti kebutuhan yang
mendesak, jabatan berdasarkan titipan serta kurangnya pengetahuan yang mendalam
dari para pejabat penilai dalam memahami peraturan perundangan mengenai prestasi kerja.
Misalnya, ada pejabat eselon II di Jawa Timur yang memiliki pandangan bahwa
jika seseorang sudah menduduki jabatan fungsional yang bersangkitan tidak dapat
menduduki jabatan fungsional. Yang benar adalah bahwa yang bersangkutan dapat
menduduki jabatan structural ketika dia sudah melepaskan kedudukannya sebagai
pejabat fungsional.
Serta unsur-unsur yang menyangkut manajemen kepegawaian
lain yang mencerminkan reward dan funishment. Maka, untuk menciptakan aparatur
Negara yang mumpuni, diperlukan manajemen kepegawaian yang pelaku-pelaku
didalamnya memiliki komitmen dan konsistensi tinggi. Hal ini tetu memerlukan
waktu yang lama dan proses yang tidak terhenti.
Perubahan yang diharapkan dapat memberikan output yang
cepat adalah diklat dan non diklat. Diklat telah banyak dilakukan, baik diklat
structural maupun teknis. Namun, seringkali kuantitasnya yang kurang sehingga
percepatan harapan peningkatan kompetensi masih terkendala.
Kondisi kerja yang kondusif merupakan factor yang
signifikan dalam menciptakan kinerja aparatur yang baik. Situasi kerja yang
kondusif ini merupakan gabungan antara aturan dan improvisasi. Aturan tetap
ditegakkan, namun pelaksanaanya haruslah dipersonifikasikan, artinya cara,
teknik, taktik serta strategi yang diterapkan hendaknya tidak kaku. Seringkali
kondisi atau situasi kerja ditentukan oleh personality. Jika personality
pelaku-pelaku didalamnya disertai komitmen dan konsistensi serta dibarengi iman
dalam arti pendekatan yang humanis bukan kesewenang-wenangan, maka kondisi
kerja yang kondusif dapat tercapai.
Sarana dan prasarana yang memadai juga sangat menunjang
terhadap peningkatan kompetensi SDM. Tanpa ditunjang dengan hal tersebut
kualifikasi kompetensi juga cenderung menjadi angan-angan. Hanya satu atau dua
kasus saja seorang individu atau kelompok mencapai tingkat kompetensi yang
memadai tanpa sarana dan prasara yang lengkap. Belum lagi masalah paraturan
tertulis jelas, namun aplikasinya kurang jelas.
Hal-hal ini terjadi secara umum termasuk di lingkungan aparatur
Provinsi Jawa Timur, Dinas sosial bahkan lebih sempit lagi di UPT Rehsos ANKN
Surabaya.
Dengan
kecenderungan organisasi pemerintahan
yang minim struktur dan kaya fungsi, maka peranan pejabat fungsional sangat
menentukan. Dengan demikian, diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas
jabatan fungsional yang proporsinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
pejabat structural. Saat ini, khususnya di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur
belum mencerminkan hal tersebut (lihat tabel 1).
C. PERAN PEJABAT FUNGSIONAL
Bahwa dalam rangka pengembangan profesionalisme dan pembinaan karier
Pegawai Negeri Sipil serta peningkatan
mutu pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil
(PP nomor 16 tahun 1994 direvisi menjadi PP nomor 40 tahun 2010).
Dalam Keputusan
Presiden nomor 87 tahun 1999 tentang Rumpun
Jabatan Fungsional PNS disebutkan bahwa Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini
disebut jabatan fungsional
adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu
satuan organisasi yang
dalam
pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keadilan
dan/atau ketrampilan tertentu
serta bersifat mandiri.
Dari ulasan tersebut jelas disebutkan bahwa seorang pejabat fungsional
merupakan individu yang memiliki keahlian khusus. Berbeda dengan seorang
pejabat structural yang kemampuan intinya harus memiliki kemampuan manajerial
secara umum, pejabat fungsional harus memiliki kemampuan keilmuan teknis
sendiri. Dengan demikian, kedudukannya dalam sutau instansi merupakan ujung
panah dalam mencapai tujuan dari suatu organisasi.
Namun demikian, walau disebutkan bersifat mandiri, pejabat fungsional
di dalam melaksanakan tugasnya tidak mutlak harus bekerja sendiri. Dia dapat dibantu oleh
tenaga fungsional yang lain, namun tanggungjawab hasil pelaksanaan
tugas dan kewenangan
pelaksanaan tugas tetap melekat
pada pejabat fungsional
tersebut. Itulah sebabnya dalam
suatu instansi tidak hanya memiliki satu pejabat fungsional, namun biasanya ada
beberapa pejabat fungsional lain sebagai penguat peran dan fungsi jabatan
fungsional yang lain.Masing-masing pejabat fungsional tersebut juga memiliki
penjenjangan, yaitu jabatan fungsional keahlian dan pejabat fungsional
terampil.
Jabatan fungsional ahli adalah jabatan fungsional kualifikasi profesional yang pelaksanaan tugas
dan fungsinya mensyaratkan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
di bidang keahliannya. Tugas utama Jabatan Fungsional ahli meliputi pengembangan pengetahuan,
penerapan konsep dan teori, ilmu
dan seni untuk pemecahan
masalah, dan pemberian pengajaran dengan cara yang sistematis.
Jabatan fungsional terampil adalah jabatan fungsional kualifikasi teknis
atau penunjang profesional yang pelaksanaan tugas dan fungsinya
mensyaratkan penguasaan pengetahuan teknis
di satu bidang ilmu pengetahuan
atau lebih. Tugas utama
jabatan fungsional terampil meliputi
pelaksanaan kegiatan teknis yang berkaitan dengan penerapan konsep dan metode operasional di bidang
ilmu pengetahuan tersebut serta pemberian pengajaran
di tingkat pendidikan
tertentu.
Dari uraian itu
jelas bahwa jabatan fungsional memiliki peran dalam:
1.
Pengembangan pengetahuan bidang keahliannya
2.
Penerapan konsep dan teori bidang keahliannya
3.
Ilmu dan seni dalam pemecahan masalah yang menjadi keahliannya
4.
Pemberian pengajaran dengan cara yang sistematis. Pemberian pengajaran
ini tidak selalu harus bersifat klasikal (patron-klien), namun juga dapat
dikembangkan dengan memakai “seni”
5.
Penerapan konsep dan metode operasional di bidang ilmu pengetahuan
tertentu
Dalam sebuah struktur
organisasi pemerintahan, Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah institusi yang
berada di bawah sebuah organisasi yang lebih besar sesuai dengan bidang
masing-masing. Institusi ini dibentuk dengan pertimbangan adanya fungsi-fungsi
teknis dari yang harus dijalankan di daerah. Untuk melaksanakan fungsi
tersebut, maka diperlukan tenaga-tenaga teknis sesuai dengan bidang atau
spesialisasinya.
Dengan pemahaman
tersebut, maka dapat digambarkan bahwa pejabat fungsional merupakan ujung
tombak pelaksanaan fungsi teknis, dimana kegiatan-kegiatannya diarahkan dan
dikendalikan melalui sebuah sistem manajemen UPT. Walaupun pejabat fungsional
dikatakan bersifat mandiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya, hal itu tidak
keluar dari koridor tugas pokok dan fungsi UPT. Hal ini berarti pejabat
fungsional dapat memulai sebuah inisiatif untuk melaksanakan kegiatannya namun
tidak terlepas dari tujuannya mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi UPT
serta memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan-tujuan dari UPT.
Namun demikian,
pejabat fungsionalpun tidak hanya dapat bekerja di setting mikro seperti itu,
dia juga dapat bekerja pada setting mezzo dan makro seperti dicontohkan pada
telisik jabatan fungsional pekerja sosial berikut. Kembali lagi bahwa dalam
pelaksanaannya, sebuah jabatan fungsional dalam sebuah instansi tidak dapat
berdiri sendiri namun juga memerlukan keahlian dari jabatan fungsional lain.
Misalnya, dalam sebuah instansi tidak hanya diperlukan jabatan fungsional
pekerja sosial saja sebagai jabaan fungsional inti, jika tujuan instansi
tersebut ingin berjalan dengan keseimbangan, dia juga memerlukan jabatan fungsional
lain seperti, jabatan fungsional widyaiswara maupun penyuluh sosial.
D.
KEBUTUHAN
FUNGSIONAL PEKERJA SOSIAL DAN PENYULUH SOSIAL
Kesejahteraan
sosial mempunyai ruang lingkup yang sangat luas karena menyangkut seluruh aspek
kehidupan manusia. Adi (2005) mengklasifikasikannya ke dalam arti sempit yang
diidentikkan dengan bidang-bidang yang ditangani oleh Departemen Sosial/Dinas
Sosial, dan kesejahteraan sosial dalam arti luas yang terkait dengan
kesejahteraan rakyat meliputi wilayah kerja departemen terkait.
Peningkatan
pelayanan sosial meliputi dua unsur yaitu kualitas pelayanan serta ketepatan
dan kesesuaian antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Bidang
kesejahteraan sosial dalam arti sempit terkait dengan:
- Service delivery system, baik yang diberikan oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah seperti bantuan terhadap yatim-piatu, lanjut usia, rumah sakit, shelters, dll.
- Layanan keluarga
- Pelayanan terhadap anak dan generasi muda
- Kesejahteraan sosial untuk Lanjut Usia.
- Kelompok Khusus: korban NAPZA, penyandang cacat, dan lain-lain.
- Jaminan Sosial (Bantuan Sosial dan Asuransi Sosial)
- Pengentasan Kemiskinan
- Perumahan dan Lingkungan Sosial
- Layanan kesehatan masyarakat
- Perawatan Medik
- Layanan Kesehatan Jiwa
- Lembaga Koreksional
- Lembaga Pendidikan
- Area Lain.
Sedangkan
bidang kesejahteraan sosial dalam arti luas dilihat berdasarkan:
- Sektor pembangunan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
- Kekhususan masalah yang ditangani: lembaga koreksional, kesehatan mental, pelayanan medik, dan lain-lain.
- Besaran kelompok sasaran: kesejahteraan keluarga, komunitas lokal, kesejahteraan publik secara luas, dan lain-lain.
- Tingkat Usia Kelompok Sasaran: anak, lansia, generasi muda, dan lain-lain.
Secara
umum, pekerjaan sosial sangat terkait dengan perjuangan membela Hak Asasi
Manusia (HAM). Dalam curah pendapat yang dilaksanakan di Universitas Indonesia
baru-baru ini, para ahli pekerjaan sosial bersepakat bahwa HAM merupakan dasar
teori dalam pekerjaan sosial yang harus distrukturkan dalam intervensi pekerjaan
sosial, sebagai berikut:
- Intervensi pertama, menentang penindasan (penggunaan kekuasaan secara tidak adil terhadap individu/kelompok, kebijakan yang lebih menguntungkan orang kaya, ketidakadilan gender, seperti: diskriminasi etnik, ras, agama dan lain-lain).
- Intervensi kedua, pemberdayaan―empowerment, meningkatkan kesadaran dari semua pihak tentang perlakuan yang menyebabkan ketimpangan.
- Intervensi ketiga, fokus pada kekuatan individu/kelompok (strength perspective), karena dapat membantu penyandang masalah mengatasi kesulitan/hambatan yang dialami.
- Intervensi keempat, tidak diskriminatif berdasarkan ras dan etnis (ethnic-sensitive practice). Intervensi yang menerapkan HAM harus menghargai nilai non-diskriminasi dan mendorong keberagaman budaya.
- Intervensi kelima, pentingnya perempuan dalam struktur sosial (feminist practice). Memberdayakan perempuan guna memperluas pertumbuhan ekonomi, menanggulangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan pemeliharaan lingkungan.
- Intervensi keenam, meningkatkan pengetahuan budaya, termasuk norma, perbendaharaan kata, dan kekuatan penyandang masalah (cultural competence).
Selain
dasar teori HAM tersebut, ada dua prinsip utama yang perlu ditekankan dalam
praktek pekerjaan sosial: (1) “help people to help themselves,” membantu
masyarakat untuk menolong diri mereka sendiri. (2) “work with people not
work for people,” bekerja bersama dengan masyarakat, bukan bekerja untuk
mereka. Kedua prinsip ini mempunyai makna bahwa pekerja sosial dan para pemerlu
pelayanan sama-sama dituntut untuk berperan aktif dalam meningkatkan kualitas
kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemberian pelayanan adalah agar semua
masyarakat bisa mempunyai keterampilan dan kesempatan mengakses sumber daya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kirst-Ashman
(2007) mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai aktivitas profesional yang
membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk meningkatkan
kemampuan/kapasitas keberfungsian sosial mereka serta menciptakan kondisi
sosial yang mendukung. Secara umum, ada tiga dimensi yang disepakati dalam
pekerjaan sosial. Pertama, menekankan pada pentingnya multiple-level
intervention (intervensi pada individu, keluarga, kelompok, organisasi dan
masyarakat). Kedua, berdasarkan pengetahuan atau disiplin yang dipilih secara
cermat dari berbagai teori yang ada. Ketiga, memfokuskan pada
masalah-masalah privat dan keadilan sosial.
Secara
garis besar, praktek pekerjaan sosial dibagi ke dalam tiga level yaitu mikro,
meso dan makro. Pada level mikro, intervensi dilakukan dengan melibatkan
seorang individu (klien), level meso melibatkan sebuah kelompok kecil,
sedangkan intervensi keluarga merupakan gabungan antara mikro dan meso karena
melibatkan individu dan kelompok kecil yaitu keluarga. Level makro adalah
intervensi yang dilakukan dengan melibatkan organisasi dan masyarakat atau
sistem yang lebih besar. Pelaksana pekerjaan sosial disebut pekerja sosial.
Di Jawa Timur, kebutuhan akan fungsional pekerja
sosial dapat dilihat dari jumlah PMKS pada tahun 2010, tercatat jumlah PMKS
8.881.635 jiwa (atau hampir setara dengan 26 % penduduk Jatim), sedangkan tingkat
keberhasilan penanganan PMKS yang diklaim setiap tahun oleh Dinsosprov hanya
berkisar antara 1,35%, berarti kebutuhan akan jumlah dan kualitas pekerja
sosial masih perlu peningkatan.
Salah satu kepedulian pemerintah akan pentingnya
jabatan fungsional pekerja sosial dituangkan dalam Kep MENPAN Nomor:
KEP/03/M.PAN/I/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka
Kreditnya, Keputusan Bersama Menteri Sosial dan Kepala Badan Kepegawaian Negara
Nomor 05/HUK/2004 dan 09 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya, serta Kep Mensos No. 10/HUK/2007 tentang Pedoman
Pembinaan Teknis Jabatan Fungsional Pekerja Sosial,
Dijelaskan
bahwa Pekerja Sosial adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung
jawab, wewenang, dan secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk
melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial di lingkungan pemerintah maupun
badan/organisasi sosial lainnya.
Dalam
pemberian pelayanan sosial kepada masyarakat baik pada level mikro, meso maupun
makro, pekerja sosial merupakan ujung tombak yang berhadapan langsung dengan
para pemerlu pelayan sosial/kelayan. Pemberian pelayanan sosial yang dilakukan
oleh pekerja sosial merupakan aktivitas profesional yang didasari oleh tiga
komponen yang saling berkaitan yaitu: (1) landasan kelimuan (knowledge-based);
(2) landasan keterampilan (skill-based); dan (3) landasan nilai (value-based).
Pekerja sosial mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pendampingan sekaligus
menjalankan proses pelayanan pekerjaan sosial yang meliputi: (1) asesmen; (2)
rencana intervensi; (3) intervensi; (4) review dan evaluasi; dan (5) terminasi.
Telah disebutkan bahwa kecenderungan institusi
adalah minim struktur tapi kaya fungsi, berarti dalam penanganan masalah ini
dari sebuah institusi adalah pejabat fungsionalnya. Maka wajarlah jika
kuantitas pejabat fungsional harus lebih banyak dari pejabat strukturalnya,
namun kondisi tersebut belum terlihat di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.
Tabel 1
Distribusi
Kepegawaian Dinsosprov Jatim Berdasarkan Jabatan
NO
|
J A B A T A N
|
J U M L A H
|
1
|
Pejabat Eselon II
|
1
|
2
|
Pejabat Eselon III
|
35
|
3
|
Pejabat Eselon IV Dinsos
|
15
|
4
|
Pejabat Eselon IV UPT
|
90
|
5
|
Fungsional Gol. IV
|
8
|
6
|
Staf/fungs. Gol. III
|
465
|
7
|
Staf/fungs. Gol. II
|
411
|
8
|
Staf/fungs. Gol. I
|
141
|
T O
T A L
|
1.166
|
Tabel 2
Distribusi Pejabat
Fungsional Dinsosprov Jatim Berdasarkan Jenjang
NO
|
JENIS JABATAN
FUNGSIONAL
|
TERAMPIL
|
AHLI
|
JUMLAH
|
1.
|
Fungsional
Pekerja Sosial
|
54
|
25
|
79
|
2.
|
Widyaiswara
|
-
|
4
|
4
|
T O T A L
|
54
|
29
|
83
|
Dengan melihat tabel 1 dan 2 proporsi pejabat
fungsional dan structural masih lebih banyak jumlah pejabat strukturalnya (214 orang
: 83orang). Jadi cita-cita yang mengedepankan minim struktur kaya fungsi
belumlah tercipta di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Jumlah pejabat
strukrural 1,5 lebih banyak dari pejabat structural. Kondisi ini tentu
menimbulkan kendala pelaksanaan tugas di lapangan. Pelayanan prima yang dikedepankan
belumlah mendekati kenyataan, fungsional pekerja sosial sebagai pelaku utama
perubahan terhadap kelompok sasaran masih perlu ditingkatkan, baik dari segi
kualitas maupun kuantitas.
Barapa banyak jumlah fungsional perlu ditambah,
dan berapa jumlah penambahannya dapat dilihat dalam kajian berikut. Misalnya
saja pekerja sosial ditempatkan dalam setting mikro di UPT. Jika jumlah seluruh
klien di 30 UPT Dinsosprov Jatim 3000 orang, sedangkan proporsi ideal 5 klien
adalah 1 orang fungsional pekerja sosial, maka fungsional pekerja sosial yang
diperlukan adalah 600 orang, sedangkan yang ada sekarang adalah 79 orang.
Berarti fungsional pekerja sosial yang masih diperlukan mencapai 521 orang.
Belum lagi mengingat bahwa tugas fungsional pekerja sosial bukan hanya setting
dalam panti saja, namun juga dapat menangani klien di luar panti, berarti
kekurangan akan fungsional pekerja sosial semakin besar.
E. PERMASALAHAN
PENGANGKATAN FUNGSIONAL (PEKERJA SOSIAL DAN
PENYULUH SOSIAL)
Salah satu kendala yang dihadapi adalah, walaupun
tunjangan profesi fungsional pekerja sosial sudah jauh lebih baik, masih
enggannya PNS untuk menjadi fungsional pekerja sosial adalah :
1.
Faktor pribadi PNS
itu sendiri, seperti tidak ingin bekerja dengan susah payah, tidak memiliki
keterampilan minimal sebagai pegawai seperti tidak dapat mengetik dengan
menggunakan computer sebagai syarat dalam melakukan pelaporan kegiatan
2.
Rata-rata PNS
enggan untuk ditempatkan di UPT, hal ini menyangkut kesejahteraan serta
keengganan
berhubungan langsung dengan klien yang bermasalah, karena akan banyak
menimbulkan banyak konsekuensi negatif
3.
Persyaratan
pelaporan yang dapat dijadikan angka kredit tidak sederhana, kadangkala calon
fungsional pekerja sosial sudah enggan jika melihat begitu tebalnya berkas
pelaporan seorang
pekerja sosial yang lain
4.
Realita bahwa
kedudukan fungsional pekerja sosial belum dinomorsatukan sehingga menyandang
fungsional pekerja sosial bukanlah suatu kebanggaan, takut akan stigma terutama
dari pejabat structural bahwa fungsional pekerja sosial sebagai “oposisi” dari
pejabat structural
5.
Pandangan bahwa
setelah menjadi pejabat fungsional, seorang PNS tidak dapat diangkat menjadi
pejabat struktural
6.
Contoh kasus, bahwa
40 calon yang sudah mengikuti sertifikasi sudah lama saja sampai sekarang
belum
diangkat menjadi fungsional pekerja sosial
7.
Hal yang paling
signifikan adalah, ketika PNS yang telah menduduki golongan misalnya III/d
(sarjana) ketika dingkat menjadi fungsional pekerja sosial pangkatnya menjadi
turun III/a. memang tujuannya adalah agar menghargai kualifikasi praktikan,
namun di lain pihak hal ini menjadi sebuah kendala juga ketika seseorang ingin
menjadi fungsional pekerja sosial
8.
Masih berlakunya
aturan pejabat fungsional ini paling tinggi hanya bisa sampai IV/c
9.
Terbatasnya jumlah
PNS menjadikan fungsional pekerja sosial masih banyak dari bidang keilmuan
lain. Masih rendahnya tingkat pendidikan sebagian fungsional peksos juga
menjadikan proporsi peksos trampil mendominasi dibandingkan peksos ahli
10.
Tidak tercantumnya
rumpun jabatan fungsional apapun dalam pergub Jatim
11.
Mutasi struktural
yang demikian cepat juga merupakan kendala tersendiri, sehingga kebijakan yang
disertai persepsi, komitmen serta konsistensi yang berbeda merupakan kendala
yang signifikan bagi pejabat fungsional, khususnya pejabat fungsional pekerja
sosial.
Tabel 3
Distribusi Pejabat
Fungsional Dinsosprov Jatim Berdasarkan Pendidikan
NO
|
JENIS JABATAN
FUNGSIONAL
|
S2
|
S1
|
DIPL 3
|
SLTA
|
TOTAL
|
1.
|
Fungsional
Pekerja Sosial
|
2
|
25
|
9
|
43
|
79
|
2.
|
Widyaiswara
|
3
|
1
|
-
|
-
|
4
|
T O T A L
|
5
|
26
|
9
|
43
|
83
|
Ketika proposi fungsional pekerja sosial tidak
sebanding dengan jumlah klien yang ditangani serta dilain pihak juga fungsional
pekerja sosial memerlukan dukungan profesi lain sebagai pejabat fungsional
dalam melaksanakan kelancaran tugasnya, maka salah satu tugas yang dapat
diambil alih adalah melakukan penyluhan sosial. Penyuluhan sosial dapat
dilakukan oleh fungsional penyuluh sosial seperti yang tertuang dalam Peraturan
Bersama Menteri Sosial dan Kepala BKN Nomor 41/HUK-PPS/2008 dan Nomor 13 Tahun
2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Sosial dan Angka
Kreditnya.
Di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur belum ada
yang menjabat fungsional Penyuluh Sosial. Baru ada Fungsional Pekerja Sosial
dan Fungsional Widyaiswara, walaupun pada bulan Mei tahun 2009 telah dilakukan
kegiatan sosialisasi jabatan Fungsional Penyuluh Sosial dari kementerian Sosial
di Hotel Cendana. Belum adanya yang berminat menjadi Fungsional penyuluh Sosial
dierkirakan sebagai berikut:
1.
Jarak antara
sosialisasi dan action belum cukup dalam 1 tahun
2.
Sosialisasi
dilakukan pada jumlah kelompok audiensi yang terbatas, selain itu jarak antara
satu sosialisasi dengan sosialisasi lain waktunya terlalu panjang, sehingga
diperlukan jangkauan audiens yang lebih luas dengan jarak penyuluhan yang rapat
3.
Sebagian besar PNS
masih berorientasi jabatan strukrural
4.
Pandangan
stereotype (menyamaratakan) antara jabatan fungsional penyuluh dengan
fungsional
pekerja sosial. Seperti takut ditempatkan di UPT dan lain sebagainya
5.
Tunjangan yang
masih lebih rendah dari tunjangan fungsional pekerja sosial dan fungsional
widyaiswara
6.
Pandangan yang
berpendapat, tidak menjadi fungsional penyuluh sosial saja sudah dapat
melakukan penyuluhan sosial, tidak pelu repot-repot lagi menjadi penyuluh sosial.
Atau bagi para staf di Dinsosprov berpendapat bahwa tidak menjadi pejabat
fungsionalpun tidak apa-pa, toh pendapatan menjadi staf di Dinsosprov setiap
bulannya tetap saja lebih besar daripada jika ditempatkan di UPT.
7.
Serta masalah
lainnya
Menghadapi kendala tersebut, maka diperlukan
langkah-langkah baik jangka pendek maupun jangka panjang, terutama harapan
untuk BBPPKS Yogyakarta, diantaranya:
1.
Mohon diteruskan
kepada pembuat kebijakan di tingkat pusat untuk menjadikan pejabat fungsional
di
Jakarta menjadi role model bagi pejabat fungsional di daerah. Jangan sampai
terjadi seperti kasus fungsional pekerja sosial di Pusat pada saat ini sedang
resah dan secepatnya beralih ke pejabat fungsional lain untuk menghindari status
pegawai yang di-panti-kan. Pertanyaannya, apakah pejabat fungsional pekerja
sosial harus selalu di panti jika melihat bahwa setting fungsional pekerja
sosial selain setting mikro juga mezzo dan makro
2.
Konsep
penyederhanaan laporan pejabat fungsional agar tidak menimbulkan sikap
traumatis dari calon
pejabat fungsional
3.
Pelatihan informasi dan teknologi bagi pejabat
fungsional sebagai syarat untuk meng-up date
pengetahuan, keterampilan serta
sikap dan perilakunya secara lebih efisien dan efektif
4.
Fasilitasi dukungan
pengadaan sarana dan prasarana peningkatan akses informasi dan teknologi bagi
para pejabat fungsional
5.
Penyamaan tunjangan
bagi seluruh rumpun jabatan fungsional agar tidak terjadi jabatan fungsional
favorit dan “anak tiri”
6.
Lebih
mengintensifkan dan mengekstensifkan pertemuan pejabat fungsional tingkat
nasional bahkan
internasional agar motivasi dan optimism para pejabat funsional
tetap terjaga
7.
Agar semua harapan dapat
dicapai denga cepat, masa keterjangkauan harus menjadi pertimbangan.
Misalnya
membuat kebijakan yang memungkinkan daerah dapat melakukan pendidikan
sertifikasi penjenjangan fungsional
8.
Selain diklat untuk
pejabat fungsionalnya sendiri, hendaknya BBPPKS juga melakukan beragam diklat
yang dapat membuat supporting system tersebut (struktural) mendukung dan empati
terhadap pejabat fungsional.
9.
Kebijakan
penempatan pejabat fungsional, terutama pekerja sosial dan penyuluh sosial agar
tidak saja di instansi sosial saja. Untuk mempercepat proses pemasyarakatan
jabatan fungsional tersebut, hendaknya membuat MoU dengan instansi lain yang
membutuhkan profesi ini
10.
Yang sederhana,
apakah pekerja sosial fungsional wajib ditempatkan di UPT yang mikro, sementara
sasaran garapan mezzo dan makro yang juga merupakan garapan fungsional pekerja
sosial dilakukan oleh bukan fungsional pekerja sosial.
No comments:
Post a Comment