Tuesday, April 3, 2012

Pengembangan SDM Kesejahteraan Sosial di Jawa Timur


PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEJAHTERAAN SOSIAL
DI PROVINSI JAWA TIMUR
 oleh : Nenden Desnawati

A.     KONDISI SDM DI JAWA TIMUR

Kualitas SDM Indonesia belum mampu menciptakan lapangan kerja sendiri yang muncul dari jiwa wirausaha. Mental yang terbangun adalah mencari pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan.
Salah satu indikator lemahnya SDM ini bisa dilihat dari produktivitas seseorang dalam menjalankan tugas kerja. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 68 tahun 1995, beban kerja PNS dalam lima hari masuk adalah 37,5 jam per minggu. Kenyataannya, PNS masih banyak yang mencuri waktu pada jam kerja efektif. Mulai menambah jam istirahat, jam makan, hingga keluar kantor untuk kepentingan pribadi.
Selain itu, sikap kurang disiplin waktu, etos kerja yang rendah, tanggung jawab terhadap pekerjaan, hingga gaji yang relatif rendah memengaruhi produktivitas kerja PNS secara perorangan dan kolektif.
Di Malaysia, pegawai bekerja 45 jam per minggu, Singapura 42 jam per minggu, di Thailand dan Korea, pegawai negeri bekerja 40 jam per minggu. Tak heran, kajian Kementerian PAN dan UI, beberapa waktu lalu menyebutkan, produktivitas pegawai negeri di Indonesia masih rendah.
Dari data komposisi, PNS berpendidikan SLTA ke bawah ada sekitar 41,6 persen. PNS berpendidikan Diploma I s/d Diploma III/Sarjana Muda ada sekitar 25 persen. Selanjutnya hanya 31,9 persen PNS yang berpendidikan Diploma IV/ S1 s/d S3.
Kondisi saat ini menunjukkan bahwa SDM aparatur yang ada sangat jauh dari apa yang diharapkan. Potret SDM aparatur saat ini menunjukkan profesionalisme rendah, banyaknya praktek KKN yang melibatkan aparatur, tingkat gaji yang tidak memadai, pelayanan  kepada  masyarakat  yang berbelit-belit,  hidup  dalam  pola patron-klien,  kurang kreatif dan inovatif, bekerja berdasarkan juklak dan juknis serta mungkin masih banyak potret negatif lainnya yang intinya menunjukkan bahwa aparatur di Indonesia masih lemah. Gambaran  tersebut  memberikan  dorongabagi kita untuk melakukan  perubahan  pada SDM aparatur Indonesia (kita sebut dengan istilah Reformasi Birokrasi).

Pemerhati birokrasi mendorong pemerintah mengedepankan pengelolaan SDM aparatur pemerintah dengan manajemen kepegawaian berbasis kinerja. Penataan PNS ini bertujuan memperbaiki komposisi dan distribusi pegawai, sehingga dapat didayakan secara optimal. Saat ini, distribusi PNS belum sesuai dengan distribusi tugas pemerintah pusat/provinsi/kabupaten/kota.
Di tingkat pusat, PNS berjumlah 876.537 (23,18 persen, provinsi 289.680 (7,6 persen) dan PNS di tingkat daerah kabupaten/kota 2.614.148 (69,15 persen). Daerah-daerah di luar Pulau Jawa terjadi kekurangan pegawai (guru, dokter dan tenaga medis), termasuk di Jawa Timur.
Jumlah PNS Pemprov Jatim saat ini sekitar 23.000 orang, masih kekurangan sekitar 8.600 orang. Sekdaprov Jatim Rasiyo mengatakan, banyaknya posisi lowong itu karena setiap tahun ada sedikitnya 1.500 PNS pensiun. “Itu berdasar laporan dari semua SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di lingkungan pemprov,” tegasnya.
Pemerintah pusat melalui SK Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN dan RB) Nomor 278.F/M.PAN/RB/07/2010 tentang Persetujuan Prinsip Formasi Calon PNS 2010 tertanggal 21 Juli hanya mengalokasikan jatah CPNS untuk pemprov Jatim sebanyak 283 orang. Dari jumlah itu, 97 untuk tenaga kesehatan dan 186 sisanya untuk tenaga teknis. Rasio menyatakan, pihaknya sudah mengirim surat ke MENPAN dan Reformasi Birokrasi untuk minta tambahan kuota 180 CPNS. “Tapi hingga kini belum ada balasan,” jelas mantan Kadindik Jatim ini. Rekrutmen CPNS dipastikan lebih ketat dibanding tahun-tahun sebelumnya, karena yang dinilai tidak hanya kepandaian, melainkan juga perilaku. Hal itu dilakukan agar dapat menjaring CPNS yang lebih professional, dapat menjaring SDM berkualitas tinggi dan punya latar belakang status ekonomi sosial baik, sehingga keberadaannya sebagai abdi negara memiliki kontribusi besar dalam meningkatkan produktivitas.
Untuk mewujudkan kualitas PNS dengan standar tinggi, salah satunya ditentukan dalam tahapan rekruitmen. Kalau proses seleksi dilaksanakan objektif dan transparan, hanya akan terjaring kader-kader bangsa yang memiliki integritas dan kualitas tinggi.
Sejak 2005, Pemerintah tidak membuka pendaftaran CPNS jalur umum dan memprioritaskan mengangkat pegawai honorer yang masuk dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan diangkat secara periodik hingga 2009. Pada tahun 2010, formasi CPNS 2010 yang dibutuhkan adalah tenaga guru, tenaga kesehatan, dan tenaga teknis, seperti penyuluh lapangan perikanan, pertanian, dan koperasi serta UKM. Berikutnya adalah pekerja pendukung, meliputi pengawas kendaraan bermotor, pengawas transportasi, dan pengawas ketenagakerjaan.
Gambaran aparatur Negara dengan profesionalitas rendah, kebijakan sejak tahun 2005 yang tidak membuka pendaftaran CPNS jalur umum hanya mengangkat pegawai honorer serta sejak tahun 2008 prioritas formasi kebutuhan CPNS Jawa Timur adalah tenaga guru, tenaga kesehatan dan tenaga teknis yang tidak menyebutkan pekerja sosial, berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pekerja sosial, khususnya fungsional pekerja sosial di Jawa Timur, baik secara kualitas maupun kuantitas.

B.      KOMPETENSI YANG PERLU DITINGKATKAN DAN SUDAH DILAKSANAKAN
Kompetensi jabatan SDM aparatur (PNS), secara umum berarti kemampuan dan karakteristik yang dimiliki  seoranPNS berupa  pengetahuan,  keterampilan,  sikap,  dan perilaku, yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya (Mustopadidjaja, 2002). Disinilah kompetensi menjadi satu karakteristik yang mendasari individu atau seseorang mencapai kinerja tinggi dalam pekerjaannya. Karakteristik itu muncul dalam bentuk pengetahuan  (knowledge),  keterampilan  (skill), dan  perilaku  (attitude)  untuk  menciptakan aparatur yang memiliki semangat pengabdian yang tinggi dalam melayani masyarakat yang selalu bertindak hemat, efisien, rasional, transparan, dan akuntabel. Jadi, pelayanan publik merupakan pemberdayaan masyarakat yang pada gilirannya dapat menggerakkan roda perekonomia menuj kesejahteraan Untu itu,   diperluka strateg peningkatan kompetensi SDM aparatur, dimana kompetensi yang memadai merupakasesuatu yang sangat  mutlak  yanperlu  dipahami  dan  dilaksanakan  oleh  seluruh  jajaran  aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah.

Dalam melaksanakatugas pokok dan fungsinya tersebut, tentu saja perlu diperhatikan hak dari aparatur itu sendiri, yaitu mendapatkakehidupan yang sejahtera baik dari aspek material maupun spiritual. Secara garis besar kewajiban yang harus dilaksanakaoleh aparatur di Indonesia adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat (excellent  service for people). Agar tugas pokok dan fungsi serta kewajiban tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka harus didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai. Adanya peraturan yang jelas serta didukung dengan sumber daya manusia yang profesional dan handal merupakan  faktor pendukung yang tidak boleh ditinggalkan. Sarana dan prasarana yang memadai, lengkap dan canggih akan mempercepat proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, peraturan yang jelas dalam pemberian pelayanan masyarakat akan memberikan pedoman bagi aparatur dalam memberikan pelayanan.

Untuk membentuk sosok SDM aparatur seperti tersebut memang memerlukan waktu dan proses yang lama serta upaya yang tidak boleh berhenti. Manajemen kepegawaian perlu dibenahi,  yaitu  diawali  dengan  melakukan  pola  rekrutmen  yanbenar  sesuai  dengan peraturan  dan  berdasarkan  kompetensi.  Demikian  pula dalapengembangan  pegawai, Penilaian Prestasi Kerja (PPK), pola karir, penggajian, promosi, pemberhentian dan sebagainya. Semua perubahan itu perlu dilakukan dengan komitmen dan konsistensi yang tinggi. Perubahan yang segera dapat dilakukan adalah peningkatan kemampuan atau kompetensi yang dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) maupun non diklat. Perubahan melalui diklat dapat dilakukan dengan melakukan berbagai kursus, pendidikan formal maupun non formal atau pendidikan lainnya yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan  atau kompetensi teknis maupun  perubahan  pola pikir, moral, dan perilaku SDM aparatur. Meskipun merubah pola pikir, moral dan perilaku SDM aparatur melalui diklat memang tidak mudah, akan  tetapi tetaperlu dilakukan. Sementara peningkatan kemampuan  atau  kompetensi  melalui  non  diklat dapat  dilakukan  dengan  menciptakan situasi  dan  kondisi  kerja  yang  kondusif  untuk  terjadinya  peningkatan   kemampuan, melakukan  mutasi secara berkala, menciptakan  hubungan antar personal yang harmonis dan lain sebagainya.

Sama dengan proses umum, bahwa untuk mendapatkan  SDM kesejahteraan sosial yang professional termasuk fungsional pekerja sosial, maka unsur pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku tidak bisa dinafikan. Telah banyak upaya ke arah tersebut, namun bukan berarti tidak menemui kendala.
Pola rekruitmen pegawai pada era otonomi daerah mengutamakan SDM lokal sebagai sumber, itu adalah hal baik, namun tidakkah bertentangan dengan prinsip pasar bebas, siapapun dapat hidup dan berkarier dimanapun yang penting memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan. Di pihak lain rekruitmen CPNS pada masa otonomi daerah memiliki kecenderungan mendahulukan “kedekatan” dengan elit lokal. Rekruitmen disiasati dengan bekerja sebagai sukwan atau tenaga honorer terlebih dahulu, sehingga kebutuhan tenaga fresh graduate, cenderung terabaikan.
Dengan bergulirnya desentralisasi disatu sisi membawa manfaat, di pihak lain membawa kendala. Dengan desentralisasi pola karier seorang PNS tidak sulit untuk “meloncat” ke instansi lain, namun di pihak lain kontradiktif dengan psinsip kompetensi latar belakang pendidikan dan pengalaman. Pembelaan dirinya memang telah ada prosedur (juklak dan juknis) pelaksanaan pola kerja di satu instansi, namun di sisi lain apakah seseorang yang “meloncat” ke instansi lain dapat begitu cepat mengadaptasikan diri dengan aturan, pola kerja, SDM instansi baru. Diperparah lagi dengan “loncatan” dengan putaran yang elatif cepat, 6 bulan misalnya, bahkan hitungan hari.
Penilaian prestasi kerja dalam tataran aturan sudah jelas dan transparan, namun pada pelaksanaan seringkali mengikuti kebutuhan yang mendesak, jabatan berdasarkan titipan serta kurangnya pengetahuan yang mendalam dari para pejabat penilai dalam memahami peraturan  perundangan mengenai prestasi kerja. Misalnya, ada pejabat eselon II di Jawa Timur yang memiliki pandangan bahwa jika seseorang sudah menduduki jabatan fungsional yang bersangkitan tidak dapat menduduki jabatan fungsional. Yang benar adalah bahwa yang bersangkutan dapat menduduki jabatan structural ketika dia sudah melepaskan kedudukannya sebagai pejabat fungsional.
Serta unsur-unsur yang menyangkut manajemen kepegawaian lain yang mencerminkan reward dan funishment. Maka, untuk menciptakan aparatur Negara yang mumpuni, diperlukan manajemen kepegawaian yang pelaku-pelaku didalamnya memiliki komitmen dan konsistensi tinggi. Hal ini tetu memerlukan waktu yang lama dan proses yang tidak terhenti.
Perubahan yang diharapkan dapat memberikan output yang cepat adalah diklat dan non diklat. Diklat telah banyak dilakukan, baik diklat structural maupun teknis. Namun, seringkali kuantitasnya yang kurang sehingga percepatan harapan peningkatan kompetensi masih terkendala.
Kondisi kerja yang kondusif merupakan factor yang signifikan dalam menciptakan kinerja aparatur yang baik. Situasi kerja yang kondusif ini merupakan gabungan antara aturan dan improvisasi. Aturan tetap ditegakkan, namun pelaksanaanya haruslah dipersonifikasikan, artinya cara, teknik, taktik serta strategi yang diterapkan hendaknya tidak kaku. Seringkali kondisi atau situasi kerja ditentukan oleh personality. Jika personality pelaku-pelaku didalamnya disertai komitmen dan konsistensi serta dibarengi iman dalam arti pendekatan yang humanis bukan kesewenang-wenangan, maka kondisi kerja yang kondusif dapat tercapai.
Sarana dan prasarana yang memadai juga sangat menunjang terhadap peningkatan kompetensi SDM. Tanpa ditunjang dengan hal tersebut kualifikasi kompetensi juga cenderung menjadi angan-angan. Hanya satu atau dua kasus saja seorang individu atau kelompok mencapai tingkat kompetensi yang memadai tanpa sarana dan prasara yang lengkap. Belum lagi masalah paraturan tertulis jelas, namun aplikasinya kurang jelas.
Hal-hal ini terjadi secara umum termasuk di lingkungan aparatur Provinsi Jawa Timur, Dinas sosial bahkan lebih sempit lagi di UPT Rehsos ANKN Surabaya.
Dengan kecenderungan  organisasi pemerintahan yang minim struktur dan kaya fungsi, maka peranan pejabat fungsional sangat menentukan. Dengan demikian, diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas jabatan fungsional yang proporsinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pejabat structural. Saat ini, khususnya di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur belum mencerminkan hal tersebut (lihat tabel 1).

C.      PERAN PEJABAT FUNGSIONAL

Bahwa dalam rangka pengembangan profesionalisme dan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil serta peningkatan mutu pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (PP nomor 16 tahun 1994 direvisi menjadi PP nomor 40 tahun 2010).

Dalam Keputusan Presiden nomor 87 tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional PNS disebutkan bahwa Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak  seorang  Pegawai  Negeri  Sipil  dalam  suatu  satuan  organisasi  yang  dalam  pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keadilan dan/atau ketrampilan tertentu serta bersifat mandiri. Dari ulasan tersebut jelas disebutkan bahwa seorang pejabat fungsional merupakan individu yang memiliki keahlian khusus. Berbeda dengan seorang pejabat structural yang kemampuan intinya harus memiliki kemampuan manajerial secara umum, pejabat fungsional harus memiliki kemampuan keilmuan teknis sendiri. Dengan demikian, kedudukannya dalam sutau instansi merupakan ujung panah dalam mencapai tujuan dari suatu organisasi.

Namun demikian, walau disebutkan bersifat mandiri, pejabat fungsional di dalam melaksanakan tugasnya tidak mutlak harus bekerja sendiri. Dia dapat dibantu oleh tenaga fungsional yang lain, namun tanggungjawab hasil pelaksanaan tugas dan kewenangan pelaksanaan tugas tetap melekat pada pejabat fungsional tersebut. Itulah sebabnya dalam suatu instansi tidak hanya memiliki satu pejabat fungsional, namun biasanya ada beberapa pejabat fungsional lain sebagai penguat peran dan fungsi jabatan fungsional yang lain.Masing-masing pejabat fungsional tersebut juga memiliki penjenjangan, yaitu jabatan fungsional keahlian dan pejabat fungsional terampil.

Jabatan fungsional ahli adalah jabatan fungsional kualifikasi profesional yang pelaksanaan tugas dan fungsinya mensyaratkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keahliannya.   Tugas utama Jabatan Fungsional ahli meliputi pengembangan pengetahuan, penerapan konsep dan teori, ilmu dan seni untuk pemecahan masalah, dan pemberian pengajaran dengan cara yang sistematis. Jabatan fungsional terampil adalah jabatan fungsional kualifikasi teknis atau penunjang profesional yang pelaksanaan tugas dan fungsinya mensyaratkan penguasaan pengetahuan teknis di satu bidang ilmu pengetahuan atau lebih.  Tugas utama jabatan fungsional terampil meliputi pelaksanaan kegiatan teknis yang berkaitan dengan penerapan konsep dan metode operasional di bidang ilmu pengetahuan tersebut serta pemberian pengajaran di tingkat pendidikan tertentu.

Dari uraian itu jelas bahwa jabatan fungsional memiliki peran dalam:
1.      Pengembangan pengetahuan bidang keahliannya
2.      Penerapan konsep dan teori bidang keahliannya
3.      Ilmu dan seni dalam pemecahan masalah yang menjadi keahliannya
4.      Pemberian pengajaran dengan cara yang sistematis. Pemberian pengajaran ini tidak selalu harus bersifat klasikal (patron-klien), namun juga dapat dikembangkan dengan memakai “seni”
5.      Penerapan konsep dan metode operasional di bidang ilmu pengetahuan tertentu

Dalam sebuah struktur organisasi pemerintahan, Unit Pelaksana Teknis (UPT) adalah institusi yang berada di bawah sebuah organisasi yang lebih besar sesuai dengan bidang masing-masing. Institusi ini dibentuk dengan pertimbangan adanya fungsi-fungsi teknis dari yang harus dijalankan di daerah. Untuk melaksanakan fungsi tersebut, maka diperlukan tenaga-tenaga teknis sesuai dengan bidang atau spesialisasinya.
Dengan pemahaman tersebut, maka dapat digambarkan bahwa pejabat fungsional merupakan ujung tombak pelaksanaan fungsi teknis, dimana kegiatan-kegiatannya diarahkan dan dikendalikan melalui sebuah sistem manajemen UPT. Walaupun pejabat fungsional dikatakan bersifat mandiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya, hal itu tidak keluar dari koridor tugas pokok dan fungsi UPT. Hal ini berarti pejabat fungsional dapat memulai sebuah inisiatif untuk melaksanakan kegiatannya namun tidak terlepas dari tujuannya mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi UPT serta memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan-tujuan dari UPT.

Namun demikian, pejabat fungsionalpun tidak hanya dapat bekerja di setting mikro seperti itu, dia juga dapat bekerja pada setting mezzo dan makro seperti dicontohkan pada telisik jabatan fungsional pekerja sosial berikut. Kembali lagi bahwa dalam pelaksanaannya, sebuah jabatan fungsional dalam sebuah instansi tidak dapat berdiri sendiri namun juga memerlukan keahlian dari jabatan fungsional lain. Misalnya, dalam sebuah instansi tidak hanya diperlukan jabatan fungsional pekerja sosial saja sebagai jabaan fungsional inti, jika tujuan instansi tersebut ingin berjalan dengan keseimbangan, dia juga memerlukan jabatan fungsional lain seperti, jabatan fungsional widyaiswara maupun penyuluh sosial.

D.     KEBUTUHAN FUNGSIONAL PEKERJA SOSIAL DAN PENYULUH SOSIAL
Kesejahteraan sosial mempunyai ruang lingkup yang sangat luas karena menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia. Adi (2005) mengklasifikasikannya ke dalam arti sempit yang diidentikkan dengan bidang-bidang yang ditangani oleh Departemen Sosial/Dinas Sosial, dan kesejahteraan sosial dalam arti luas yang terkait dengan kesejahteraan rakyat meliputi wilayah kerja departemen terkait.
Peningkatan pelayanan sosial meliputi dua unsur yaitu kualitas pelayanan serta ketepatan dan kesesuaian antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Bidang kesejahteraan sosial dalam arti sempit terkait dengan:
  1. Service delivery system, baik yang diberikan oleh pemerintah maupun organisasi non-pemerintah seperti bantuan terhadap yatim-piatu, lanjut usia, rumah sakit, shelters, dll.
  2. Layanan keluarga
  3. Pelayanan terhadap anak dan generasi muda
  4. Kesejahteraan sosial untuk Lanjut Usia.
  5. Kelompok Khusus: korban NAPZA, penyandang cacat, dan lain-lain.
  6. Jaminan Sosial (Bantuan Sosial dan Asuransi Sosial)
  7. Pengentasan Kemiskinan
  8. Perumahan dan Lingkungan Sosial
  9. Layanan kesehatan masyarakat
  10. Perawatan Medik
  11. Layanan Kesehatan Jiwa
  12. Lembaga Koreksional
  13. Lembaga Pendidikan
  14. Area Lain.
Sedangkan bidang kesejahteraan sosial dalam arti luas dilihat berdasarkan:
  1. Sektor pembangunan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
  2. Kekhususan masalah yang ditangani: lembaga koreksional, kesehatan mental, pelayanan medik, dan lain-lain.
  3. Besaran kelompok sasaran: kesejahteraan keluarga, komunitas lokal, kesejahteraan publik secara luas, dan lain-lain.
  4. Tingkat Usia Kelompok Sasaran: anak, lansia, generasi muda, dan lain-lain.
Secara umum, pekerjaan sosial sangat terkait dengan perjuangan membela Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam curah pendapat yang dilaksanakan di Universitas Indonesia baru-baru ini, para ahli pekerjaan sosial bersepakat bahwa HAM merupakan dasar teori dalam pekerjaan sosial yang harus distrukturkan dalam intervensi pekerjaan sosial, sebagai berikut:
  1. Intervensi pertama, menentang penindasan (penggunaan kekuasaan secara tidak adil terhadap individu/kelompok, kebijakan yang lebih menguntungkan orang kaya, ketidakadilan gender, seperti: diskriminasi etnik, ras, agama dan lain-lain).
  2. Intervensi kedua, pemberdayaan―empowerment, meningkatkan kesadaran dari semua pihak tentang perlakuan yang menyebabkan ketimpangan.
  3. Intervensi ketiga, fokus pada kekuatan individu/kelompok (strength perspective), karena dapat membantu penyandang masalah mengatasi kesulitan/hambatan yang dialami.
  4. Intervensi keempat, tidak diskriminatif berdasarkan ras dan etnis (ethnic-sensitive practice). Intervensi yang menerapkan HAM harus menghargai nilai non-diskriminasi dan mendorong keberagaman budaya.
  5. Intervensi kelima, pentingnya perempuan dalam struktur sosial (feminist practice). Memberdayakan perempuan guna memperluas pertumbuhan ekonomi, menanggulangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan pemeliharaan lingkungan.
  6. Intervensi keenam, meningkatkan pengetahuan budaya, termasuk norma, perbendaharaan kata, dan kekuatan penyandang masalah (cultural competence).
Selain dasar teori HAM tersebut, ada dua prinsip utama yang perlu ditekankan dalam praktek pekerjaan sosial: (1) “help people to help themselves,” membantu masyarakat untuk menolong diri mereka sendiri. (2) “work with people not work for people,” bekerja bersama dengan masyarakat, bukan bekerja untuk mereka. Kedua prinsip ini mempunyai makna bahwa pekerja sosial dan para pemerlu pelayanan sama-sama dituntut untuk berperan aktif dalam meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Tujuan pemberian pelayanan adalah agar semua masyarakat bisa mempunyai keterampilan dan kesempatan mengakses sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kirst-Ashman (2007) mendefinisikan pekerjaan sosial sebagai aktivitas profesional yang membantu individu, kelompok dan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan/kapasitas keberfungsian sosial mereka serta menciptakan kondisi sosial yang mendukung. Secara umum, ada tiga dimensi yang disepakati dalam pekerjaan sosial. Pertama, menekankan pada pentingnya multiple-level intervention (intervensi pada individu, keluarga, kelompok, organisasi dan masyarakat). Kedua, berdasarkan pengetahuan atau disiplin yang dipilih secara cermat dari berbagai teori yang ada. Ketiga, memfokuskan pada masalah-masalah privat dan keadilan sosial.
Secara garis besar, praktek pekerjaan sosial dibagi ke dalam tiga level yaitu mikro, meso dan makro. Pada level mikro, intervensi dilakukan dengan melibatkan seorang individu (klien), level meso melibatkan sebuah kelompok kecil, sedangkan intervensi keluarga merupakan gabungan antara mikro dan meso karena melibatkan individu dan kelompok kecil yaitu keluarga. Level makro adalah intervensi yang dilakukan dengan melibatkan organisasi dan masyarakat atau sistem yang lebih besar. Pelaksana pekerjaan sosial disebut pekerja sosial.
Di Jawa Timur, kebutuhan akan fungsional pekerja sosial dapat dilihat dari jumlah PMKS pada tahun 2010, tercatat jumlah PMKS 8.881.635 jiwa (atau hampir setara dengan 26 % penduduk Jatim), sedangkan tingkat keberhasilan penanganan PMKS yang diklaim setiap tahun oleh Dinsosprov hanya berkisar antara 1,35%, berarti kebutuhan akan jumlah dan kualitas pekerja sosial masih perlu peningkatan.

Salah satu kepedulian pemerintah akan pentingnya jabatan fungsional pekerja sosial dituangkan dalam Kep MENPAN Nomor: KEP/03/M.PAN/I/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya, Keputusan Bersama Menteri Sosial dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 05/HUK/2004 dan 09 tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya, serta Kep Mensos No. 10/HUK/2007 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Jabatan Fungsional Pekerja Sosial,
Dijelaskan bahwa Pekerja Sosial adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial di lingkungan pemerintah maupun badan/organisasi sosial lainnya.
Dalam pemberian pelayanan sosial kepada masyarakat baik pada level mikro, meso maupun makro, pekerja sosial merupakan ujung tombak yang berhadapan langsung dengan para pemerlu pelayan sosial/kelayan. Pemberian pelayanan sosial yang dilakukan oleh pekerja sosial merupakan aktivitas profesional yang didasari oleh tiga komponen yang saling berkaitan yaitu: (1) landasan kelimuan (knowledge-based); (2) landasan keterampilan (skill-based); dan (3) landasan nilai (value-based). Pekerja sosial mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pendampingan sekaligus menjalankan proses pelayanan pekerjaan sosial yang meliputi: (1) asesmen; (2) rencana intervensi; (3) intervensi; (4) review dan evaluasi; dan (5) terminasi.
Telah disebutkan bahwa kecenderungan institusi adalah minim struktur tapi kaya fungsi, berarti dalam penanganan masalah ini dari sebuah institusi adalah pejabat fungsionalnya. Maka wajarlah jika kuantitas pejabat fungsional harus lebih banyak dari pejabat strukturalnya, namun kondisi tersebut belum terlihat di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.

Tabel 1
Distribusi Kepegawaian Dinsosprov Jatim Berdasarkan Jabatan
NO
J A B A T A N
J U M L A H
1
Pejabat Eselon II        
1
2
Pejabat Eselon III
35
3
Pejabat Eselon IV Dinsos
15
4
Pejabat Eselon IV UPT
90
5
Fungsional Gol. IV
8
6
Staf/fungs. Gol. III
465
7
Staf/fungs. Gol. II
411
8
Staf/fungs. Gol. I
141

T  O  T  A  L
1.166

Tabel 2
Distribusi Pejabat Fungsional Dinsosprov Jatim Berdasarkan Jenjang

NO
JENIS JABATAN FUNGSIONAL
TERAMPIL
AHLI
JUMLAH
1.
Fungsional Pekerja Sosial
54
25
79
2.
Widyaiswara
-
4
4

T O T A L
54
29
83

Dengan melihat tabel 1 dan 2 proporsi pejabat fungsional dan structural masih lebih banyak jumlah pejabat strukturalnya (214 orang : 83orang). Jadi cita-cita yang mengedepankan minim struktur kaya fungsi belumlah tercipta di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur. Jumlah pejabat strukrural 1,5 lebih banyak dari pejabat structural. Kondisi ini tentu menimbulkan kendala pelaksanaan tugas di lapangan. Pelayanan prima yang dikedepankan belumlah mendekati kenyataan, fungsional pekerja sosial sebagai pelaku utama perubahan terhadap kelompok sasaran masih perlu ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Barapa banyak jumlah fungsional perlu ditambah, dan berapa jumlah penambahannya dapat dilihat dalam kajian berikut. Misalnya saja pekerja sosial ditempatkan dalam setting mikro di UPT. Jika jumlah seluruh klien di 30 UPT Dinsosprov Jatim 3000 orang, sedangkan proporsi ideal 5 klien adalah 1 orang fungsional pekerja sosial, maka fungsional pekerja sosial yang diperlukan adalah 600 orang, sedangkan yang ada sekarang adalah 79 orang. Berarti fungsional pekerja sosial yang masih diperlukan mencapai 521 orang. Belum lagi mengingat bahwa tugas fungsional pekerja sosial bukan hanya setting dalam panti saja, namun juga dapat menangani klien di luar panti, berarti kekurangan akan fungsional pekerja sosial semakin besar.

E.      PERMASALAHAN PENGANGKATAN FUNGSIONAL (PEKERJA SOSIAL DAN 
      PENYULUH SOSIAL)

Salah satu kendala yang dihadapi adalah, walaupun tunjangan profesi fungsional pekerja sosial sudah jauh lebih baik, masih enggannya PNS untuk menjadi fungsional pekerja sosial adalah :
1.      Faktor pribadi PNS itu sendiri, seperti tidak ingin bekerja dengan susah payah, tidak memiliki 
      keterampilan minimal sebagai pegawai seperti tidak dapat mengetik dengan menggunakan computer sebagai syarat dalam melakukan pelaporan kegiatan

2.      Rata-rata PNS enggan untuk ditempatkan di UPT, hal ini menyangkut kesejahteraan serta 
      keengganan berhubungan langsung dengan klien yang bermasalah, karena akan banyak 
      menimbulkan banyak konsekuensi negatif

3.      Persyaratan pelaporan yang dapat dijadikan angka kredit tidak sederhana, kadangkala calon 
      fungsional pekerja sosial sudah enggan jika melihat begitu tebalnya berkas pelaporan seorang 
      pekerja sosial yang lain

4.      Realita bahwa kedudukan fungsional pekerja sosial belum dinomorsatukan sehingga menyandang 
    fungsional pekerja sosial bukanlah suatu kebanggaan, takut akan stigma terutama dari pejabat structural bahwa fungsional pekerja sosial sebagai “oposisi” dari pejabat structural

5.      Pandangan bahwa setelah menjadi pejabat fungsional, seorang PNS tidak dapat diangkat menjadi 
      pejabat struktural

6.      Contoh kasus, bahwa 40 calon yang sudah mengikuti sertifikasi sudah lama saja sampai sekarang 
      belum diangkat menjadi fungsional pekerja sosial

7.      Hal yang paling signifikan adalah, ketika PNS yang telah menduduki golongan misalnya III/d 
     (sarjana) ketika dingkat menjadi fungsional pekerja sosial pangkatnya menjadi turun III/a. memang tujuannya adalah agar menghargai kualifikasi praktikan, namun di lain pihak hal ini menjadi sebuah kendala juga ketika seseorang ingin menjadi fungsional pekerja sosial

8.      Masih berlakunya aturan pejabat fungsional ini paling tinggi hanya bisa sampai IV/c
9.      Terbatasnya jumlah PNS menjadikan fungsional pekerja sosial masih banyak dari bidang keilmuan 
    lain. Masih rendahnya tingkat pendidikan sebagian fungsional peksos juga menjadikan proporsi peksos trampil mendominasi dibandingkan peksos ahli

10.  Tidak tercantumnya rumpun jabatan fungsional apapun dalam pergub Jatim
11.  Mutasi struktural yang demikian cepat juga merupakan kendala tersendiri, sehingga kebijakan yang disertai persepsi, komitmen serta konsistensi yang berbeda merupakan kendala yang signifikan bagi pejabat fungsional, khususnya pejabat fungsional pekerja sosial.

Tabel 3
Distribusi Pejabat Fungsional Dinsosprov Jatim Berdasarkan Pendidikan

NO
JENIS JABATAN FUNGSIONAL
S2
S1
DIPL 3
SLTA
TOTAL
1.
Fungsional Pekerja Sosial
2
25
9
43
79
2.
Widyaiswara
3
1
-
-
4

T O T A L
5
26
9
43
83

Ketika proposi fungsional pekerja sosial tidak sebanding dengan jumlah klien yang ditangani serta dilain pihak juga fungsional pekerja sosial memerlukan dukungan profesi lain sebagai pejabat fungsional dalam melaksanakan kelancaran tugasnya, maka salah satu tugas yang dapat diambil alih adalah melakukan penyluhan sosial. Penyuluhan sosial dapat dilakukan oleh fungsional penyuluh sosial seperti yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Sosial dan Kepala BKN Nomor 41/HUK-PPS/2008 dan Nomor 13 Tahun 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Sosial dan Angka Kreditnya.

Di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur belum ada yang menjabat fungsional Penyuluh Sosial. Baru ada Fungsional Pekerja Sosial dan Fungsional Widyaiswara, walaupun pada bulan Mei tahun 2009 telah dilakukan kegiatan sosialisasi jabatan Fungsional Penyuluh Sosial dari kementerian Sosial di Hotel Cendana. Belum adanya yang berminat menjadi Fungsional penyuluh Sosial dierkirakan sebagai berikut:
1.      Jarak antara sosialisasi dan action belum cukup dalam 1 tahun
2.      Sosialisasi dilakukan pada jumlah kelompok audiensi yang terbatas, selain itu jarak antara satu sosialisasi dengan sosialisasi lain waktunya terlalu panjang, sehingga diperlukan jangkauan audiens yang lebih luas dengan jarak penyuluhan yang rapat
3.      Sebagian besar PNS masih berorientasi jabatan strukrural
4.      Pandangan stereotype (menyamaratakan) antara jabatan fungsional penyuluh dengan fungsional 
      pekerja sosial. Seperti takut ditempatkan di UPT dan lain sebagainya

5.      Tunjangan yang masih lebih rendah dari tunjangan fungsional pekerja sosial dan fungsional 
      widyaiswara

6.      Pandangan yang berpendapat, tidak menjadi fungsional penyuluh sosial saja sudah dapat 
     melakukan penyuluhan sosial, tidak pelu repot-repot lagi menjadi penyuluh sosial. Atau bagi para staf di Dinsosprov berpendapat bahwa tidak menjadi pejabat fungsionalpun tidak apa-pa, toh pendapatan menjadi staf di Dinsosprov setiap bulannya tetap saja lebih besar daripada jika ditempatkan di UPT.

7.      Serta masalah lainnya

Menghadapi kendala tersebut, maka diperlukan langkah-langkah baik jangka pendek maupun jangka panjang, terutama harapan untuk BBPPKS Yogyakarta, diantaranya:
1.      Mohon diteruskan kepada pembuat kebijakan di tingkat pusat untuk menjadikan pejabat fungsional di 
    Jakarta menjadi role model bagi pejabat fungsional di daerah. Jangan sampai terjadi seperti kasus fungsional pekerja sosial di Pusat pada saat ini sedang resah dan secepatnya beralih ke pejabat fungsional lain untuk menghindari status pegawai yang di-panti-kan. Pertanyaannya, apakah pejabat fungsional pekerja sosial harus selalu di panti jika melihat bahwa setting fungsional pekerja sosial selain setting mikro juga mezzo dan makro

2.      Konsep penyederhanaan laporan pejabat fungsional agar tidak menimbulkan sikap traumatis dari calon 
      pejabat fungsional

3.       Pelatihan informasi dan teknologi bagi pejabat fungsional sebagai syarat untuk meng-up date 
       pengetahuan, keterampilan serta sikap dan perilakunya secara lebih efisien dan efektif

4.      Fasilitasi dukungan pengadaan sarana dan prasarana peningkatan akses informasi dan teknologi bagi 
      para pejabat fungsional

5.      Penyamaan tunjangan bagi seluruh rumpun jabatan fungsional agar tidak terjadi jabatan fungsional favorit dan “anak tiri”
6.      Lebih mengintensifkan dan mengekstensifkan pertemuan pejabat fungsional tingkat nasional bahkan 
      internasional agar motivasi dan optimism para pejabat funsional tetap terjaga

7.      Agar semua harapan dapat dicapai denga cepat, masa keterjangkauan harus menjadi pertimbangan. 
   Misalnya membuat kebijakan yang memungkinkan daerah dapat melakukan pendidikan sertifikasi penjenjangan fungsional

8.      Selain diklat untuk pejabat fungsionalnya sendiri, hendaknya BBPPKS juga melakukan beragam diklat 
    yang dapat membuat supporting system tersebut (struktural) mendukung dan empati terhadap pejabat fungsional.

9.      Kebijakan penempatan pejabat fungsional, terutama pekerja sosial dan penyuluh sosial agar tidak saja di instansi sosial saja. Untuk mempercepat proses pemasyarakatan jabatan fungsional tersebut, hendaknya membuat MoU dengan instansi lain yang membutuhkan profesi ini
10.  Yang sederhana, apakah pekerja sosial fungsional wajib ditempatkan di UPT yang mikro, sementara 
     sasaran garapan mezzo dan makro yang juga merupakan garapan fungsional pekerja sosial dilakukan oleh bukan fungsional pekerja sosial.


No comments:

Post a Comment