Friday, May 11, 2012

Peran Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur dalam Menangani Anak Berhadapan dengan Hukum Melalui Sintem Panti


PERAN DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TIMUR
DALAM PENANGANAN ANAK BERHADAPAN DENGAN HUKUM 
MELALUI PANTI SOSIAL
(Isi Kesepakatan Bersama Dirjen Pemasyarakatan dengan Departemen Sosial RI)


I.                    Pendahuluan

Dalam rangka pelaksanaan pembinaan Anak Didik (AD) yang berada di Lapas Anak (LA), saat ini ditemui beberapa hambatan, yaitu:

A.      Walaupun ketentuan yang ada telah mengatur proses pembinaan anak didik dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif cepat sesuai pentahapan, namun dalam kenyataan hal tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hambatan terjadi antara lain karena tidak adanya orang tua/wali/badan sosial yang mau menjamin Anak Negara (AN) atau Anak Pidana (AP) pada saat menjalani Pembebasan Bersyarat (PB). Keadaan ini mengakibatkan AN berada di LA lebih lama dari AP, pada hal pelanggaran AN sebenarnya lebih ringan dibanding dengan kasus pelanggaran AP
B.      Adanya kondisi keterbatasan yang dihadapi LA dalam rangka penyelenggaraan pembinaan baik dilihat dari segi SDM, dana, sarana dan prasarana sehingga kondisi ini menjadi sebab tidak memungkinkannya diadakan pendidikan, perawatan dan perlindungan yang memadai bagi AD.
C.      Menyikapi kondisi dimaksud, guna mewujudkan pembinaan AD di LA dalam suasana lapas yang ramah anak serta untuk memacu terlaksananya proses pemasyarakatan bagi AD sesuai dengan pentahapannya, Dirjen Pemasyarakatan telah mengadakan kerja sama dengan Direktur Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial serta 2 (dua) LSM, PLAN dan PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) pada tanggal 14 Mei 2005 yang direview pada tahun 2008.


II.                  Isi MoU antara Dirjen Yanrehsos Depsos RI dengan Dirjen Pemasyarakatan Depkum
            dan HAM RI tentang Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyarakatan

A.      Pengertian
1.      Anak pelaku tindak pidana adalah anak yang melakukan tindak pidana yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
2.      Rehabilitasi merupakan proses refungsionalisasi dan pemantapan taraf kesejahteraan sosial untuk memungkinkan para penyandang masalah kesejahteraan sosial mampu melaksanakan kembali fungsi sosialnya dalam tata kehidupan dan penghidupan bermasyarakat dan bernegara
3.      Panti Sosial Marsudi Putra adalah Panti Rehabilitasi Anak Nakal yang memiliki fungsi memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang meliputi bimbingan fisik, bimbingan mental psikologis, bimbingan sosial, bimbingan keterampilan, resosialisasi serta bimbingan lanjutan bagi anak nakal agar mampu hidup selaras dengan lingkungan, serta berperan aktif dalam kehidupan masyarakat
4.      Anak nakal adalah:
a.      Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang
    dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (pasal 1 ayat 2 UU no. 3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak)
b.      Anak yang mengalami kesulitan penyesuaian diri yang menyebabkan melanggar hukum,
   sulit dididik dalam keluarga dan dapat membahayakan orang lain (definisi menurut pekerjaan sosial)
5.      Anak Didik Pemasyarakatan (ADP) adalah:
a.      AP, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LA paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun
b.      AN, yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LA paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun
c.       Anak Sipil (AS), yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
       penetapan pengadilan untuk dididik di LA paling lama sampai berumur 18 (delapan 
       belas) tahun
6.      Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
      narapidana dan ADP.
7.      Balai Pemasyarakatan (Bapas), yaitu pranata untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan (KP)
8.      Pembimbing Kemasyarakatan (PK), yaitu Petugas Pemasyarakatan (PP) pada Bapas yang
      melakukan bimbingan pada KP (UU no. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak)

B.      Tujuan
Tujuan dari MoU ini adalah tercapainya pelayanan yang berkelanjutan melalui kegiatan rehabilitasi agar ADP dapat:
1.      Hidup selaras dengan lingkungan serta berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat
2.      Memiliki keterampilan kerja sebagai modal dasar kemandirian
3.      Menghilangkan label dan stigma anak sebagai narapidana anak
4.      Diterima oleh masyarakat, lingkungan dan keluarga

C.      Ruang Lingkup
MoU mengatur tentang pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi ADP yang akan selesai menjalani pendidikan di LA agar memperoleh hak-hak dasarnya, yaitu hak untuk hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan hak untuk berpartisipasi.

D.     Sarana dan Prasarana
1.      Sarana pelayanan dan rehabilitasi bagi anak nakal, ADP atau anak pelaku tindak pidana dan eks anak didik adalah Panti Sosial Marsudi Putra yang ada di tingkat provinsi, kabupaten/kota.
2.      Kelengkapan sarana dan prasarana panti disesuaikan dengan standar yang berlaku dengan
      memperhatikan prinsip kenyamanan dan keselamatan

E.      Pelaksanaan
Pelaksanaan pelayanan terdiri dari Kepala Panti, Pekerja Sosial, Instruktur Keterampilan, Pendidik, Pengacara dan Pembimbing Kemasyarakatan

F.       Mekanisme/Tata Laksana Pelayanan
1.      Anak yang sedang dalam proses pengadilan:
a.      Anak yang mendapatkan penetapan Hakim diserahkan pada Panti Sosial melalui
      Departemen Sosial atau Dinas Sosial
b.      Kepala Panti atau petugas yang ditunjuk menangani dengan menempatkan anak pada
    ruang khusus (sementara) untuk mendapatkan pelayanan kebutuhan dasar (basic life support), perawatan medis, konseling, psikologis, bimbingan sosial, pendidikan dan bimbingan keterampilan kerja
c.       Untuk pelayanan lebih lanjut, anak ditempatkan di ruangan biasa sesuai dengan
      kebutuhan
d.      Setelah anak menyelesaikan seluruh pelayanan, dikembalikan kepada orang tua atau
      walinya.
2.      AN:
a.      AN yang oleh hakim diputus untuk diserahkan kepada Negara dan ditempatkan di LA sebagai AN
b.      Demi kepentingan anak, Kalapas dapat mengajukan ijin kepada Menkum dan HAM RI agar AN ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta
c.       AN setelah menjalani masa pendidikannya di LA paling sedikit 1 (satu) tahun dan
     berkelakuan baik, Kalapas atau izin Menkum dan HAM RI dapat menyerahkan anak tersebut ke panti sosial Depsos selaku orang tua/wali bagi anak Negara
d.      Tiga bulan sebelum AN diserahkan pada panti sosial Depsos, Kalapas memberitahukan kepada Kepala Panti mengenai rencana penempatan anak tersebut dan Kepala Panti menyatakan kesediaannya menerima AN tersebut. Setelah tiba saatnya anak harus dikeluarkan dari LA untuk mendapatkan bimbingan lanjutan dalam rangka persiapan reintegrasi sosial
e.      Setelah AN selesai menjalani seluruh pelayanan dan dikembalikan kepada orang
      tua/walinya, memberitahukan kepada pihak LA.
3.      AP:
a.      Demi kepentingan terbaik anak, Kalapas dapat mengajukan kepada Menkum dan HAM RI agar keberadaan AP di LA dapat dipersingkat dengan jalan memberikan pembebasan bersyarat guna mendapatkan bimbingan lanjutan di luar Lapas dalam rangka persiapan reintegrasi sosial dengan cara menyerahkan kepada orang tua/wali dan atau panti sosial Departemen Sosial
b.      AP yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari pidana yang dijatuhkan yang sekurang-
    kurangnya 9 (Sembilan) bulan dan berkelakuan baik dapat diberikan pembebasan bersyarat.
c.       Tiga bulan sebelum AP diserahkan pada Panti Sosial Depsos, Kalapas memberitahukan kepada orang tua/wali dan atau Kepala Panti menyatakan kesediaannya menerima AN tersebut. Setelah tiba saatnya anak harus dikeluarkan dari LA untuk mendapatkan binjut dalam rangka persiapan reintegrasi sosial.
d.      Setelah AP selesai menjalani seluruh pelayanan dan diserahkan kembali kepada orang tua/wali, Kepala Panti memberitahukan kepada pihak LA tentang penyerahan anak tersebut.
4.      Anak yang telah selesai menjalani hukuman:
a.      Tiga bulan menjelang anak selesai menjalani masa pidana di LA, petugas Lapas
      menginformasikan kepada Panti Sosial tentang berakhirnya masa pidana anak
b.      Petugas Dinas Sosial menyampaikan kepada Kepala Panti Sosial
c.       Petugas Panti mengadakan pendekatan motivasi pada anak yang ada di LA serta orang
      tua/wali agar anak mau masuk ke Panti Sosial
d.      Petugas Lapas membawa anak ke Panti untuk melihat dan melakukan orservasi dan
      orientasi tentang Panti Sosial
e.      Pada waktu pembebasan anak dari Lapas, petugas Panti menjemput anak untuk dibawa ke Panti
f.        Menempatkan anak pada ruang khusus (sementara), dengan memberikan pelayanan
     kebutuhan dasar anak (basic life support), perawatan kesehatan, intervensi psikososial (konseling), pendidikan, bimbingan sosial, bimbingan keterampilan, dan lain-lain.
g.      Untuk pelayanan lebih lanjut, anak ditempatkan di ruangan biasa
h.      Setelah selesai seluruh pelayanan, anak dapat diserahkan kembali kepada orang tua/wali dan anak disalurkan pada lapangan kerja

G.     Tanggung Jawab Para Pihak
1.      Departemen Sosial RI
a.      Memotivasi anak, orang tua/wali agar anak mau masuk Panti setelah selesai menjalani
      masa pidana
b.      Menyiapkan persyaratan administratif: melakukan identifikasi dan registrasi, melakukan
      penelusuran dan penelaahan masalah (assessment)
c.       Menempatkan anak pada program pelayanan
d.      Memberikan pelayanan kebutuhan dasar (pengasramaan, makan, pakaian, kesehatan,
      dll)
e.      Memberikan bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan kerja
2.      Depkum dan HAM
a.      Melaksanakan motivasi awal agar anak mau masuk panti
b.      Melengkapi data anak dan registrasi
c.       Memberikan pelayanan pada anak sesuai dengan hak anak untuk tumbuh kembang dan
      berpartisipasi
d.      Memberikan pelayanan bimbingan sosial, rehabilitasi sosial, kesehatan, mental agama,
      pendidikan dan keterampilan pada anak
e.      Mengembalikan pada orang tua/wali

H.     Koordinasi dan Komunikasi
1.      Masing-masing pihak berkoordinasi dengan lembaga/instansi seperti:
a.      Depsos RI pada:
1)      Dinsosprov
2)      Panti Sosial Marsudi Putra
3)      Panti Sosial Asuhan Anak
4)      Panti Sosial Bina Remaja
5)      Panti Sosial Petirahan Anak
6)      Panti Sosial Bina Karya
7)      Dll
(Catatan : no. 5) dan 6) serta 7) merupakan tambahan, karena pada  kenyataannya  ada  AN yang dikirim ke panti tersebut, juga ada yang dikirim  ke  PSBK  karena  AN  beserta  keluarganya menggelandang)
b.      Depkum dan HAM
1)      Kanwil Depkum dan HAM RI seluruh Indonesia
2)      Bapas seluruh Indonesia
3)      LA seluruh Indonesia
2.      Untuk kelancaran jalannya MoU ini diadakan pertemuan antar pejabat sebagaimana di 
      tercantum pada nomor 1 sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali

I.        Pembiayaan
Dalam hal penyediaan dan fasilitas kedua belah pihak sepakat untuk:
1.      Memanfaatkan fasilitas yang telah dimiliki dan menyiapkan dana dari masing-masing instansi
2.      Mengupayakan dana dari APBN maupun sumber lain yang tidak mengikat masing-masing
      instansi

J.        Jangka Waktu
MoU dalam pelayanan dan rehabilitasi sosial ADP ini berlaku 5 (lima) tahun sejak ditandatanganinya kesepakatan ini dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang disepakati bersama.

K.      Penutup
Petunjuk teknis lapangan naskah kesepakatan ini ditetapkan secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri.


III.                Review MoU ABH 14 Mei 2005 pada Tahun 2008
MoU yang dilaksanakan tahun 2005 antara Departemen Sosial dengan Ditjen Pemasyarakatan, tahun 2008 diadakan review Dirjen PRS dan Dirjen Pemasyarakatan mengenai isi dari kesepakatan tersebut, yaitu ditingkatkan lebih tinggi ke tingkat Menteri.
Pada kesempatan tersebut Menteri Sosial DR. Salim Segaf Al Jufri mengatakan bantuan-bantuan yang selama ini diberikan lembaga mitra perlindungan anak sangat mendukung bagi pelayanan sosial anak yang membutuhkan perlindungan khusus di Indonesia.
Mensos menambahkan bahwa kasus permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum semakin meningkat sepanjang tahun itu, tantangan dan penderitaan yang dialami anak-anak masih belum berakhir. Kekerasan terhadap anak, baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual, masih menjadi fakta yang nyata dan tidak tersembunyikan lagi. Untuk itu peran lembaga pemerintah ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam mengatasi anak yang berhadapan dengan hukum.
Sementara itu Dirjen Yanrehsos, DR. Makmur Sunusi, Ph.D mengatakan bahwa Departemen Sosial telah berupaya semaksimal mungkin dalam mendapingi dan memberikan terapi psikologi kepada anak-anak yang menjalani kasus persidangan.
Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak yang sangat rentan untuk terlibat atau dilibatkan dalam kenakalan atau suatu perbuatan melanggar hukum adalah perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH). ABH melibatkan anak dalam proses hukum, melalui suatu peradilan khusus, bukan penjara yang seharusnya mereka hadapi sebagai keputusan terakhir, lanjut Makmur.
Untuk mencegah masalah-masalah sejenis di masa mendatang, ada beberapa hal yang harus diperhatikan penegak hukum dalam rangka mempertimbangan kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum. Pertama mengenai usia pertanggunjawaban pidana. Hal ini bermanfaat agar tidak sembarang anak dapat dibawa ke proses hukum, tetapi berdasarkan usia yang sudah ditetapkan. Indonesia menetapkan seorang anak dapat dibawa ke proses peradilan mulai dari usia delapan tahun. Usia ini sebenarnya sangat rendah. Di banyak negara usia pertanggungjawaban pidana antara 12-17 tahun.
Seringkali usia ini menjadi masalah karena banyak anak tidak memiliki akta kelahiran sehingga sulit untuk mengasumsikan usia anak yang tidak diketahui usianya. Kondisi ini menyebabkan anak diberlakukan seperti orang dewasa saat berhadapan dengan hukum. Padahal berdasarkan Asian Guidelines for Child Trafficking dinyatakan bahwa apabila usia anak sulit ditebak, maka dia harus diasumsikan sebagai anak.
Kedua mengenai proses hukum dan sistem administrasi peradilan anak. Mulai dari tahap penyidikan, persidangan dan pemenjaraan seringkali sebagai tempat dilanggarnya hak-hak anak. Pada tahap awal proses penyidikan, semestinya orangtua anak harus telah diberitahukan mengenai kondisi anak. Bila orangtua tidak ada, maka harus dipilih walinya. Selanjutnya anak harus mendapatkan pendampingan, baik pendampingan untuk proses konseling oleh psikolog, maupun pendamping hukum dengan biaya yang ditanggung negara.

Pendamping hukum sangat penting dalam proses hukum yang dialami anak. Anak adalah warga negara yang belum dewasa, tidak memiliki kemampuan hukum (consent) untuk melakukan perbuatan hukum. Untuk itu, anak yang berkonflik dengan hukum harus melibatkan orangtua/wali maupun pendamping, khususnya pendamping hukum sebagai orang yang memiliki consent untuk menuntut hak asasi mereka dalam proses hukum tersebut. Proses pemeriksaan juga harus dilakukan dengan tata cara ramah anak, seperti dilakukan orang yang ahli dalam bidang anak berdasarkan persetujuan anak, dalam bahasa yang dimengerti anak dan bila bahasa itu tidak dimengerti harus diberikan penerjemah. Anak harus diberikan kesempatan beristirahat, privacy terjamin dan tentu saja tanpa kekerasan terhadap anak. Selanjutnya dalam proses peradilan, hakim dan jaksa tidak boleh mengenakan toga karena akan menimbulkan ketakutan dan dampak psikologis lainnya bagi anak.

Ketiga mengenai kesehatan. Perawatan kesehatan fisik dan psikis anak sering tidak menjadi perhatian negara selama anak menjalani proses penahanan dan pemidanaan. Bahkan dalam banyak kasus anak  mengalami kekerasan fisik baik yang dilakukan oleh aparat negara, maupun sesama tahanan/narapidana lainnya.
Keempat mengenai pendidikan. Anak  yang melakukan tindak pidana umumnya dikeluarkan dari sekolah, padahal belum ada keputusan tetap yang mengikat, apakah anak tersebut bersalah atau tidak, sehingga menyalahi prinsip praduga tak bersalah dan tentunya menghilangkan hak anak atas pendidikan. Harus diingat, pemenjaraan hanya menghilangkan hak bergerak seseorang, sementara hak-hak lainnya tetap wajib didapatkan. Jika seorang anak dipidana penjara, maka seluruh hak-haknya yang lain wajib diberikan, misalnya hak atas pendidikan, hak untuk terbebas dari tindak kekerasan dan sebagainya.
Untuk itu diperlukan payung hukum yang kuat dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum, dalam Konvensi Hak Anak (KHA), anak yang berkonflik dengan hukum ini dikategorikan ke dalam anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Salah satunya dinyatakan dalam pasal 37 KHA: "Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak harus sesuai dengan undang-undang, dan hanya digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu terpendek dan tepat."  

IV.               Tinjauan atas MoU di Panti Sosial

Dari MoU tersebut, sudah tergambar jelas tugas masing-masing pihak. Jika melihat tujuan bahwa menjelang masa pembebasan 100 % anak dari LA, maka, penempatan anak di panti sosial, secara konseptual,  merupakan tindakan yang tepat, apalagi jika anak tersebut merupakan anak yang sudah tidak memiliki aktifitas lain selepas dari Lapas. Di dalam Panti Sosial, yang sekarang bernama Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Sosial Provinsi di Jawa Timur telah mencakup pelayanan yang berkelanjutan, seperti pelayanan fisik dan kesehatan, bimbingan mental (intelektual-psikologis-spiritual-estetika), bimbingan sosial dan keterampilan. Sehingga, selepas anak dari Panti Sosial dapat mencapai tujuan sesuai kesepakatan, yaitu:

A.      Hidup selaras dengan lingkungan serta berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat
B.      Memiliki keterampilan kerja sebagai modal dasar kemandirian
C.      Hilangnya label dan stigma anak sebagai narapidana anak, dan
D.     Diterima oleh masyarakat, lingkungan serta keluarga

UPT Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur yang relevan sebagai rujukan ABH yang memberikan pelayanan sesuai dengan tujuan akhir MoU adalah:
A.      UPT Rehsos ANKN Surabaya
B.      UPT PSAA Trenggalek, Situbondo, Sumenep, Nganjuk
C.      UPT PSRT Blitar, Jombang, Bojonegoro, Pamekasan
D.     Panti Sosial Petirahan Anak Batu Malang yang memilki sub program Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), merupakan shelter sementara bagi anak sambil menunggu tempat rujukan yang paling aman, termasuk shelter bagi ABH
E.      Panti Sosial Bina Karya Sidoarjo, Pasuruan dan Madiun
Bagi ABH yang memilki kecacatan, maka dapat dirujuk ke UPT spesialisasi kecacatan, seperti:
F.       UPT RSCN malang, jika ADP merupakan klien cacat netra
G.     UPT RSCT, jika ADP cacat tubuh
H.     UPT RSCG, jika ADP cacat grahita
I.        Dan anak dengan kebutuhan khusus lain

Namun, sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada tahun 2007 oleh peneliti Departemen Sosial di beberapa provinsi, termasuk di Provinsi Jawa Timur, bahwa rujukan ABH terhadap Panti Sosial masih jarang. Penelitian ini dilatarbelakangi temuan litbang Depkumham (2004) bahwa pengalihan kasus anak ke lembaga sosial (diversi) belum pernah terjadi, sekalipun kasusnyaremeh. Padahal pengalaman anak hidup di penjara dapat menimbulkan trauma psikologis, memunculkan stigmatisasi sebagai anak jahat’ serta berpeluang menjadi residivis. Senada dengan itu, tahun 2005, Dirjen Yanrehsos/Depsos dan Dirjen Pemasyarakatan/Depkumham, membuat MoU tentang pelayanan rehabilitasi sosial anak didik dan pemasyarakatan.

Temuan di lapangan menunjukkan bahwa implementasi MoU belum optimal. Sebaliknya, beberapa LSM/LPA di berbagai lokasi penelitian, telah melakukan pendampingan hukum dan sosial yang telah menyelamatkan anak dari jerat hukum. Namun upaya tersebut belum sebanding dengan jumlah anak yang berkonflik hukum. Bahkan masih banyak ditemukan perlakuan sewenang-wenang, tindak kekerasan, intimidasi pada anak dan tidak ada bantuan (pendampingan) hukum, sebagaimana haknya anak berkonflik hukum. Kondisi ini sangat bertentangan dengan semangat yang ada dalam Konvensi Hak Anak yang mengkatagorikan anak berkonflik hukum sebagai anak yang membutuhkan perlindungan khusus (Child in Need of Special Protection), pasal-pasal dalam UU Peradilan anak N0 3/1997 serta UU Perlindungan Anak No. 23/2002. Belum maksimalnya penanganan anak berkonflik hukum oleh lembaga pemerintah maupun masyarakat, merujuk pada rekomendasi perlunya peningkatan kualitas SDM panti dengan diklat Pekerja Sosial Koreksional, revitalisasi MoU, memberi sertifikasi pada lembaga sosial; sebagai rujukan penegak hukum, membentuk jaringan kerjasama Pekerja Sosial di Panti Sosial-Bapas-LSM, menguji coba model pendampingan pada anak berkonflik hukum dan penanganan anak berbasis masyarakat, advokasi pemerintah tentang batas usia minimal anak berkonflik hukum dari 8 tahun menjadi 12 tahun.

A.      Sarana dan Prasarana
Untuk menjawab kebutuhan ABH di Panti (di Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur menjadi UPT) perlu ada beberapa perbaikan disesuaikan dengan kebutuhan ABH. Jika melihat program telah sesuai dengan kebutuhan, namun jika meninjau fasilitas, perlu adanya penambahan disesuaikan dengan tuntutan. Misalnya sebelum diberikan pelayanan lebih lanjut (anak ditempatkan di ruangan biasa sesuai dengan kebutuhan), diperlukan ruangan khusus (sementara) untuk mendapatkan pelayanan kebutuhan dasar seperti  perawatan medis, dan konseling psikologis. Atau, sebagai jalan keluar lain, jika kebutuhan ruangan khusus tersebut sulit untuk dipenuhi, maka dapat ditempatkan terlebih dahulu di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) di PSPA Batu sebelum anak benar-benar siap untuk ditempatkan di Panti Sosial. Sementara menunggu waktu penempatan, di RPSA dilakukan asesmen untuk rujukan yang paling tepat. Namun, jika terdapat hambatan geografis atau kesulitan keterjangkauan tempat, maka perubahan tau revitalisasi yang perlu diperhatikan oleh UPT-UPT rujukan, diantaranya adalah:
1.      Perlu adanya ruangan khusus sebelum anak diintegrasikan ke dalam pembinaan reguler.
2.      Perlu pengaturan waktu rehabilitasi. Jika pelayanan dan rehabilitasi reguler (yang telah ada)
    melihat kurun waktu, namun untuk menangani ABH perlu adanya aturan baru yang tidak dibatasi kurun waktu
3.      Peningkatan SDM, terutama pekerja sosial koreksional. Adanya Pekerja Sosial (Shakti
    Peksos) merupakan salah satu jawaban. Namun merekapun perlu dibekali dengan ilmu pekerjaan sosial koreksional. Di lain pihak pelibatan psikolog anak yang lebih intensifpun perlu ditingkatkan. Demikian juga dengan pelibatan SDM yang telah ada, yaitu TKSK.
4.      Perubahan jam kerja pegawai, bukan yang selama ini dijalani, seven to sixteen, namun
     perlu dirubah dengan pola bergilir selama 24 jam selama 7 hari. Hal ini perlu dilakukan jika sebagai pelayan publik ingin menerapkan pelayanan prima yang proaktif terhadap tantangan dan kebutuhan. UPT Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur diibaratkan sebagai rumah sakit, (bukan untuk mengobati penyakit fisik), namun penyakit sosial. Sebagaimana rumah sakit, maka jam kerjapun bergilir selama 24 jam bukan lagi hanya jam kerja konvensional, karena justru pemenuhan kebutuhan psiko-sosial ABH lebih banyak diperlukan pada saat hari libur dan di luar jam kerja.
5.      Membentuk jaringan kerjasama Pekerja Sosial di Panti Sosial-Bapas-LSM
6.      Terakhir, agar implementasi pelayanan prima segera terwujud, maka perlu mulai dirintis
    pemberlakuan sistem remunerasi, sehingga budaya jam kerja siang hari segera berubah karena ada pressure.  Jam kerja karyawan mengikuti kebutuhan klien bukan kebutuhan dan keinginan SDM karyawan yang ada didalamnya.

B.      Aplikasi Rujukan ABH ke Panti Sosial Dinsosprov Jatim
1.      Di UPT Rehsos ANKN Surabaya, sudah beberapa kali mendapatkan telepon dari LA
      untuk menempatkan anak di UPT Rehsos ANKN, namun dengan beberapa alasan, peluang tersebut ditampik terutama oleh AN. Namun di KN, secara resmi maupun tidak telah menerima beberapa kasus, seperti klien yang terlibat dalam pembunuhan ditempatkan di rehabilitasi regular dengan wajib lapor ke kepolisian Kediri, demikian juga dengan kasus penyalahgunaan NAPZA, masa bebas bersyaratnya dihabiskan di TC KN, serta beberapa kasus lain, seperti penyelewengan dana P2SEM, dan lain-lain. Pada akhirnya, semua kembali kepada keluarga dan berusaha mencari pekerjaan di masyarakat setelah diberi pelatihan keterampilan.
2.      Di PSPA Batu melalui RPSA beberapa anak yang melakukan pencurian, perkelahian dan
      kekerasan pada teman hampir semuanya bisa dipertahankan untuk dibina oleh keluarga.
3.      Serta kasus-kasus lainnya.

V.                 Penutup

Maka, jika telah ada inisiasi dari beberapa UPT dan dapat menangani ABH, maka perbuatan positif tersebut perlu ditindaklanjuti dengan penerimaan ABH selanjutnya dengan kejasama yang lebih resmi, akan lebih baik lagi jika kekurangan UPT yang telah diulas di atas dipenuhi terlebih dahulu atau bisa juga disempurnakan sambil jalan.








No comments:

Post a Comment