Friday, May 11, 2012

Adiksi, Konselor Adiksi dan Dewan Konselor Adiksi


ADIKSI, KONSELOR ADIKSI DAN DEWAN KONSELOR ADIKSI


A.      Pengertian Adiksi

Adiksi berasal dari Bahasa Inggris Addiction. Adiksi sama dengan Kecanduan. Adiksi merupakan kondisi dimana seseorang sudah tidak lagi mempunyai kendali terhadap perilaku kecanduannya. Dalam konteks kecanduan NAPZA, maka zat-nya bisa heroin (putau), sabu, ganja, pills, dan lain-lain. Dalam pendekatan yang lain, adiksi merupakan chronicle relapsing disease (penyakit kronis yang gampang kambuh). Oleh sebab itu berdasarkan pendekatan ini, seseorang yang sudah berhasil berhenti menggunakan NAPZA untuk periode waktu tertentu tidak dapat dikatakan sembuh(cure), tapi lebih sering dikatakan pulih (recover).
Jadi kalau ada orang yang ketahuan pakai ganja/putau/sabu, apakah sudah pasti kecanduan? Jawabannya belum tentu. Mungkin orang tersebut baru pertama kali pakai, mungkin dia baru coba-coba saja, tapi bisa juga dia sudah cukup sering menggunakan NAPZA tapi masih bisa mengendalikannya, atau memang dia sudah kecanduan.
Ada beberapa terminologi dalam menggambarkan proses perjalanan kecanduan. WHO membaginya dalam tahapan: Abstinent à Experimental à Occasional à Regular à Habitual à Dependent. Sedangkan pendekatan yang lain menggambarkan proses tersebut sebagai berikut,pengguna à Penyalahguna à Kecanduan.
Kalau kita kembali pada penjelasan diatas, ada 2 hal yang membedakan antara seseorang yang sudah kecanduan dengan yang belum, yaitumasalah dan kontrol. Orang yang sudah kecanduan, sama sekali tidak mempunyai kendali atas MASALAH YANG DIHADAPI DALAM KEHIDUPANNYA. Seluruh aspek kehidupannya dikendalikan oleh NAPZA. Mau makan pakai NAPZA dulu, mau mandi pakai NAPZA, mau sekolah/kerja pakai NAPZA, mau tidur pakai NAPZA, mau bersosialisasi pakai NAPZA. Dia menggunakan NAPZA hanya untuk menjadi “normal”. Demikian juga dengan masalah dalam aspek kehidupannya. Masalah keuangan, karena kebutuhan dan toleransi terhadap NAPZA terus meningkat, prestasi menurun, masalah interpersonal, masalah dengan keluarga, teman dan sebaya. Terlibat dengan situasi kriminal dan kecelakaan lalulintas juga merupakan hal umum ditemukan pada orang yang kecanduan NAPZA. Dari gambaran tersebut, definifi sederhada dari adiksi adalah TIDAK BISA BERHENTI !


1.       Penyebab Adiksi
Banyak sekali sekali situasi yang dapat dijadikan alasan untuk menggunakan NAPZA. Dipecat dari pekerjaan, perceraian orang tua, diputus pacar, stres pekerjaan, dorongan teman sebaya, pesta ulang tahun, pesta perpisahan, mau pergi ke gunung, mau mancing di laut, dan seterusnya. Bisa disebutkan sendiri. Jika dikelompokkan hanya tinggal 3, yaitu untukbersenang-senang, tekanan teman sebaya dan lari dari kenyataan. Mengapa pula untuk melakukan 3 kelompok tersebut memakai NAPZA, bukan yang lainnya, seperti sharing dengan teman atau anggota keluarga, berusaha, atau mengandalkan sifat-sifat (traits) yang ada dalam tubuh? Waaahhh … kalau mengandalkan yang seperti disebutkan, hasilnya lama. Tapi kalau menggunakan NAPZA, kondisi yang ingin kita ciptakan akan terwujud dengan segera, karena NAPZA bersifat instant effect, maksudnya adalah pengrahuh yang diciptakannya dapat diperoleh dalam sekejap. Lain dengan usaha, membutuhkan waktu lama, butuh proses. Belum lagi korban fikiran, perasaan, tenaga dan keuangan. Mana bisa tahan.
NAPZA dikenal juga sebagai mood altering drugs. NAPZA mampu merubah tingkat kesadaran dan kondisi emosi orang yang menggunakannya.Efeknya seperti apa, tergantung dari jenis NAPZA yang digunakan. Ada yang tergolong stimulan (misalnya: ekstasi, shabu, kokain, dll), ada yang tergolong depresan (putau, alkohol, dll), dan ada juga yang tergolong halusinogen (ganja. Magic mushroom, LSD, dll)
Pernah melihat orang sedang dalam stres berat datang ke bar, lalu setengah jam kemudian sudah heboh atau asyik sendirian. Pernah lihat orang memakai ekstasi? Apapun kondisi mental dan emosional yang ada sebelumnya, begitu menelan ekstasi, 30 menit kemudian sudah “anteng” sendiri, berjingkrak-jingkrakan diatas meja atau mojok didepan speaker. Heroin lebih dahsyat lagi, hanya dalam hitungan detik, efeknya langsung dirasakan (ini bagian enaknya, namun jangan lupa bagian tidak enak atau akibat negatif yang ditimbulkannya).

Mengapa seseorang bisa kecanduan, sementara yang lain tidak?
Ada satu literatur dari Alcoholic Anonymous (AA) yang menjelaskan dengan sangat sederhana. Mereka menyebutnya faktor X. Ada sekelompok orang yang sama sekali tidak pernah menggunakan NAPZA seumur hidup mereka. Ada sebagian orang yang alergi dengan NAPZA. Mereka menggunakan NAPZA, kemudian mabuk, efek mabuk membuat kepala pening, perut mual, badan pegal, dan seterusnya. Lalu setelah itu, mereka memutuskan tidak lagi menggunakan NAPZA. Itu adalah pengalaman pertama dan cukup. Ada sebagian orang yang pernah beberapa kali atau beberapa waktu menggunakan NAPZA, lalu kemudian memutuskan, cukup dan berhenti.
Pada orang yang memiliki faktor X, kondisinya berbeda. Mereka menggunakan NAPZA, lalu mabuk. Sebagian bisa langsung menikmati, sebagian lagi membutuhkan waktu. Tapi ada satu kesamaan diantara keduanya. Mereka sama-sama menyukai efek yang dirimbulkan oleh NAPZA. Apakah kondisinya sesederhana itu?
Pada kenyataannya terdapat faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi. Personal atau ciri individu merupakan salah satu factor, ada factor lainnya seperti faktor demografi, sosial-ekonomi, budaya termasuk nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dimana individu tersebut berada.
Misalnya, kita bicara pada orang yang memiliki faktor X. Sebut saja namanya Banyu. Banyu tinggal disebuah desa tepat dikaki lereng gunung Rinjani sekitar 75 km dari kota Jayapura. Masyarakat di desa Banyu sangat tradisional. Semua kebutuhan hidup (sandang, papan, pangan) mereka dapatkan dengan cara swadaya, bertani, beternak dan berburu. Banyu seorang dengan factor X.
Suatu hari ada seorang mahasiswa yang juga seorang pecandu putau datang kedesanya. Setelah semakin saling mengenal Banyu diajak menggunakan putau oleh pemuda tersebut. Selanjutnya selama kurang lebih dua minggu kedepan Banyu rutin menggunakan putau setiap hari. Hingga pada akhirnya pemuda tersebut meninggalkan desanya, kembali ke Jakarta. Kemudian, apa yang terjadi dengan Banyu? Apakah keadaannya akan berbeda jika Banyu di pusat peredaran NAPZA di Jakarta bukan di lembah Jayapura? Atau apakah keadaannya akan berbeda jika Banyu bukan anak petani dan dari keluarga kaya raya? Jadi, bisa diistilahkan bahwa Banyu bisa jadi pecandu jika dia sudah memiliki bakat untuk kecanduan. Sedangkan kecanduan sendiri adalah kondisi dimana individu sudah tidak memiliki kendali atas NAPZA.
Jadi yang  menyebabkan dapat kecanduan, selain factor X atau bakat, adalah 3 situasi yang telah disebutkan, untuk senang-senang, tekanan teman sebaya dan lari dari kenyataan, dengan keterangan sebagai berikut. Bagi yang menggunakan NAPZA untuk bersenang-senang sebagian orang mulai menggunakan NAPZA untuk alasan situasi sosial saja, biasanya zat yang digunakan adalah alkohol atau ganja. Misalnya dalam suatu pesta, acara, atau situasi tertentu. Sebagian orang cukup sampai disana, sebagian lagi berlanjut dalam kecanduan. Kedua, tekanan teman sebaya, sebagian besar pecandu mulai menggunakan NAPZA pada usia remaja awal (usia 12 – 17 tahun). Umumnya zat yang digunakan adalah rokok, alkohol, ganja atau pills. Kemudian pada usia 20-an mereka sudah berada pada tahap kecanduan. Sifat dasar kisaran usia tersebut adalah usia bersosialisasi dengan teman sebaya, saling meniru, saling mempengarudi, merasa eksistensinya diakui jika berada dalam kelompok atau “geng”. Tinjauan psikologisnya adalah salah satu tugas perkembangan dimasa remaja yaitu membangun relasi dengan sebaya.  Nilai-nilai sebaya menjadi lebih dominan bahkan jika dibandingkan dengan  nilai-nilai yang dari kecil  ditanamkan oleh keluarga. Remaja akan terdorong untuk memiliki kelompok/menjadi bagian dari suatu kelompok. Bisa dibayangkan jika nilai yang dianut oleh kelompok tersebut adalah mengguakan NAPZA. Masa remaja adalah masa beresiko, jika tidak dikawal dengan baik.
Bagi pecandu yang memilih NAPZA sebagai alasan sebagailari dari kenyataan, penjelasannya bahwa karena efek instan NAPZA, maka tak heran banyak orang yang coba menggunakannya sebagai alat untuk lari dari realita hidup. Dengan demikian, tidak heran jika masalah utama pecandu adalah penyangkalan(denial). Penyangkalan terhadap realita yang ada. Penyangkalan bahwa kehidupannya sudah diambil alih oleh NAPZA. Penyangkalan bahwa dirinya bermasalah. Penyangkalan terhadap ketidakberdayaannya terhadap NAPZA, dan seterusnya. Situasi ini yang sering disebut oleh masyarakat pada umumya dengan istilah “terjebak dalam lingkaran setan”, dengan siklus sebagai berikut: menggunakan NAPZA à berusaha mengatur penggunaan NAPZA à kegagalan dalam mengendalikan penggunaan NAPZA àpenyangkalanà kembali menggunakan NAPZA untuk lari dari kenyataan/menyelesaikan masalah, dan seterusnya kembali lagi. Lingkaran tersebut akan semakin membesar sejalan dengan periode penggunaan NAPZA.
2.       Tanda-tanda atau ciri-ciri pecandu
Secara umum dapat dilihat dari perubahan perilaku, perubahan nilai, penurunan prestasi, mulai ada masalah dengan tindak kriminal, masalah dengan lalu-lintas/kecelakaan, masalah dengan ekonomi/keuangan, dan seterusnya. Secara fisik, pada pengguna NAPZA suntik akan sangat mudah dilihat, karena biasanya ada jalur bekas suntikan disepanjang lengan tangan, dan beberapa didaerah yang lain. Pada pengguna ganja, umumnya mata merah dan kantung mata membengkak. Pada pengguna alkohol jauh lebih mudah dikenali, karena aroma khas alkohol akan tercium jelas. Jika ada anggota keluarga atau teman yang mengalami kecanduan, maka sikap penting yang harus dilakukan adalah jangan panik, dengan prinsip bahwa kita tidak bisa merubah seseorang, yang bisa kita lakukan adalah membantu orang tersebut menemukan kekuatan dalam dirinya untuk membantu dirinya sendiri. Kekuatanitu bisa diperoleh dengan penguatan dari orang-orang lingkungannya, baik dengan cara kekeluargaan, semi profesional maupun profesional.
Cara kekeluargaan bisa dilakukan oleh teman dan anggota keluarga dengan nilai-nilai baik selama ini yang mereka terapkan sebagai teman atau keluarga. Namun cara ini penuh resiko disebabkan sifat awam dari teman atau keluarga terhadap sifatsifat dasar kecanduan. Mereka cenderung dimanipulasi oleh pecandu yang karena kecanduannya akan lebih besifat manipulatif. Maka cara yang lebih baik adalah secara semi profesional atau bahkan jauh lebih baik lagi jika menggunakan cara profesional. Dengan melibatkan berbagai profesi, salah satunya adalah konselor adiksi.
Prinsip utama konseling pecandu menuju pemulihan adalah si pecandu perlu menyadari dirinya bermasalah. Dalam program pemulihan biasanya disebut dengan istilah ’mentok’ atau ’hit the bottom’. Ini adalah kondisi dimana si pecandu berhadapan ’muka dengan muka’ dengan realita. Tidak ada lagi orang yang bisa dimanipulasi untuk menyelesaikan masalah-masalahnya. Dalam mainstream therapeutic community, cara agar si pecandu “mentok” adalah dengan cinta yang keras (tough love), artinya memberikan kesempatan pada si pecandu untuk betanggung jawab atas kehidupannya.
Apakah dengan demikian pecandu bisa sembuh (cure)? Berdasarkan pendekatan yang kita bicarakan di atas, kecanduan sebagai penyakit kronis yang mudah kambuh. Maka umumnya kita tidak menggunakan istilah sembuh, melainkan pulih. Sama seperti penderita diabetes terhadap gula, si pecandu akan tetap pulih selama dia tidak mengkonsumsi NAPZA. Dalam masa pemulihan tersebut, tetap harus diberi wacana atau pencerahan agar dia tidak kambuh. Wacana tersebut umum dikenal dengan relapse prevention (pencegahan kekambuhan). 

3.       Relapse prevention
Dalam tahap relapse prevention ini juga menggunakan tenaga dari konselor-konselor yang terlatih, mencoba untuk membantu si pecandu untuk dapat tetap bertahan bersih dan menghadapi serta mengenali tanda-tanda relapse (kambuh). Data statistik internasional mengatakan sekitar 75–80 % dari pecandu yang telah melewati program pemulihannya, relapse atau kembali memakai.
Pemulihan adalah merupakan proses yang harus terus dijalani oleh pecandu seumur hidupnya, dengan demikian setelah si pecandu menyelesaikan program pemulihan dasarnya, tidak berhenti sebatas itu saja. Relapse prevention adalah merupakan program lanjutan bagi si pecandu untuk dapat mempertahankan waktu bersihnya dan mengatasi relapse. PeerRelapse Prevention Counselor(konselor pencegahan kekambuhan sebaya) adalah merupakan terapi yang paling cocok dan paling sukses dalam hal mengatasi dan membantu mereka yang kecanduan.
Dalam melakukan konselingnya, tidak ada batasan waktu terapi.Hal ini banyak tergantung dari tingkat keparahan adiksi.Ada 3 tingkat adiksi, yaitu tingkat adiksi, tingkat toleransi dan tingkat ketergantungan. Tingkat adiksi adalah tingkat ketergantungan bagi pemula, mereka merasakan kenikmatan waktu pertama menggunakan NAPZA, mereka mulai  dan cenderung untuk mengulanginya. Pada tingkat toleransi, pengguna NAPZA mulai mencoba untuk menaikkan dosis penggunaan NAPZA tersebut. Tingkat ketergantungan, pengguna NAPZA menggunakan NAPZA sebagai sarana untuk menghilangkan rasa sakit yang diderita (craving and urge)

B.      Konselor Adiksi

1.       Pengertian
Di Indonesia, secara umum jika melihat dari asal katanya, konselor adalah orang yang memiliki tugas memberikan konseling atau nasihat-nasihat dan masukan-masukan praktis bagi orang yang mengalami kendala-kendala tertentu. Adiksi adalah kondisi kecanduan zat racun yang merusak dan membahayakan tubuh serta dapat menimbulkan ketergantungan (addicted) bahkan kematian untuk pemakaian yang berlebihan. Jadi konselor adiksi adalah orang yang memberikan konseling/masukan untuk menghadapi kendala penggunaan zat-zat beracun yang merusak tubuh serta menimbulkan ketergantungan.
Di luar negeri, khususnya Amerika Serikat, konselor adiksi adalah seseorang yang memiliki kualifikasi kesehatan mental yang mengkhususkan diri dalam membantu klien yang ketergantungan NAPZA.Konselor ini dapat bekerja secara mandiri atau privat, sebagai bagian atau pegawai dari sebuah klinik, bekerja berkelompok, dan dalam seting rumah sakit, membantu klien dengan berbagai masalah.Untuk menjadi konselor adiksi, seseorang harus secara umum menyelesaikan berbagai program latihan yang meliputi berbagai hal mengenai ketergantungan beragam bahan kimia, psikologi, masalah hukum, berbagai tindakan yang ada agar individu dapat berjuang melawan adiksinya.
Banyak orang langsung berpikir merujuk pada zat kimia yang dapat mengakibatkan ketergantungan seperti heroin ketika mereka mendengar kata “ketergantungan”.Namun, konselor adiksi juga bekerja dengan orang yang kecanduan berjudi, kecanduan belanja, dan aktifitas lainnya.Konselor adiksi menangani klien ketergantungan dengan berbagai hal juga, tidak hanya NAPZA illegal.Misalnya, seorang konselor adiksi mungkin juga membantu seseorang yang ingin keluar dari ketergantungannya terhadap rokok atau minuman, atau membantu klien yang dalam ketergantungan obat-obatan resmi yang diberikan sebagai resep dalam pengobatan.
Misalnya, di Amerika Serikat seorang profesional bersertifikasi dalam bidang kecanduan (Certified Addiction Professional/CAP) diakui dapat menangani kecanduan setelah menyelesaikan pelatihan di bawah pengawasan dan lulus dalam ujian. Lisensi konselor adiksi (A Licenced Addictions Counselors/LAC) harusnya telah berhasil menyelesaikan setidaknya  pelatihan konseling formal penyalahgunaan zat untuk menjadi konselor adiksi. Opsi lain adalah dengan mengeluarkan sertifikasi bagi konselor alcohol dan NAPZA (Certification for Alcohol and Drug Counselors/CADC) dengan jenjang kesarjanaan, dengan sejumlah jam kerja konseling yang disupervisi, danmenyelesaikan kualifikasi pelatihan khusus. Jenjang master program konselor NAPZA meliputi master dalam konseling kecanduan (the Master's in Addiction Counseling /MAC), yang mensyaratkan beberapa tugas ke-masterannya.Sebaiknya ditanyakan dulu mengenai pendidikan dan pelatihan yang dipersyaratkan oleh lembaga penyedia layanan NAPZA ketika seseorang ingin bekerja di tempat itu, karena kualifikasi yang dipersyaratkan tergantung kebutuhan secara lokal di seluruh belahan dunia.
Kemampuan untuk memahamipengaruh beragam NAPZA dengan belajar formal ilmu farmasi diperlukan, dengan tidak melihat dimana anda belajar, jika anda ingin jadi konselor NAPZA anda harus mengambil juga “teori” NAPZA dari orang yang benar-benar menderita kecanduan. Misalnya, sangat penting untuk belajar mengenai gejala withdrawal (gejala putus zat) dari beragam obat, namun juga memahami bagaimana seorang pecandu merasakanketika tubuhnya disapih atau dihentikan dari suatu jenis NAPZA dalam detoksifikasi atau program detoks.Dengan memahami akibat detoks, dimana tahap pertama adalah mengobati kecanduan dan berarti NAPZA tidak lagi ada di dalam badan si pecandu, dapat membantu konselor adiksi untuk dapat memahami tingkah laku pecandu.
Misalnya, pengaruh fisik withdrawal dari NAPZA akan sangat sakit sekali; pecandu lebih sensitif dan gampang tersinggung dan dapat mencaci konselor secara verbal. Jika ingin menjadi konselor NAPZA, mungkin sebaiknya juga harus bekerja samaproses detoksifikasi dengan pecandu yang memiliki pengalaman keras dalam gejala withdrawal seperti muntah, penyerangan, menggigil hebat, sakit badan, peningkatan detak jantung, dan kecemasan. Setelah periode detoks awal, pecandu biasanya menderita kerinduan secara psikologis terhadap NAPZA dimana tugas konselor membantu mereka untuk melaluinya.

2.       Kompetensi konselor ketergantungan NAPZA
Konselor, bekerja secara bergantian (termasuk malam hari) di tempat rehabilitasi NAPZA mungkin diperlukan jika menjadi konselor NAPZA.Pusat rehabilitasi biasanya menyediakan ruangan khusus untuk pecandu di tempat mereka tinggal selama beberapa minggu atau beberapa bulan sambil belajar untuk menghadapinya tanpa NAPZA atau alkohol.Ketika detoksifikasi fisik telah selesai, banyak tugas menunggu, seperti terapi kelompok dan terapi individu. Selama sesi terapi rehabilitasi kelompok, individu didorong oleh konselor NAPZA untuk berpartisipasi dalam diskusi mengenai kejadian signifikan pada  latar belakang keluarga atau trauma emosional lainnya yang memainkan bagian peran dalam mengarahkan pecandu memakai NAPZA. Jika ingin menjadi konselor NAPZA, keterampilan mendengar yang baik dan sikap yang menunjukkan kasih sayang, diperlukan. Secara singkat, kompetensi minimal para petugas atau konselor ketergantungan NAPZA, untuk idealnya mereka diharapkan menguasai keterampilan-keterampilan sebagai berikut:
            a.       Keterampilan dasar
1)      Model-model Adiksi
2)      Model-model penanganan terapi dan rehabilitasi NAPZA yang tersedia
3)      Klasifikasi NAPZA
4)      Masalah Psikologis terkait
5)      Assessment, Diagnosa dan Rujukan
6)      Proses Perawatan (Treatment), Penyembuhan (Recovery), Kekambuhan (Relapse)
7)      Penggunaan jarum suntik dan HIV AIDS
8)      Pribadi sebagai konselor
9)      Keterampilan dasar Konseling
10)   Keterampilan Wawancara Terapeutik
11)   Keterampilan Menangani masalah Absensi / kehadiran Klien dan Observasi
12)   Keterampilan Analisa Budaya
            b.      Keterampilan Lanjutan
1)      Keterampilan Paraphrasing
2)      Keterampilan Memberikan Feed Back
3)      Keterampilan Menggali / Probing
4)      Keterampilan Mencatat dan Merefleksikan Perasaan
5)      Keterampilan Mendengar Efektif
6)      Keterampilan Konfrontasi Efektif
7)      Keterampilan Memotivasi Klien
8)      Keterampilan Bersikap Asertif
9)      Keterampilan Meningkatkan Harga Diri
10)   Keterampilan Mengambil Keputusan
11)   Keterampilan Menentukan Tujuan Hidup
12)   Keterampilan Menutup Pribadi Konselor
13)   Keterampilan Konseling Kelompok
14)   Keterampilan Memfasilitasi Kelompok
15)   Keterampilan Mengembangkan / Memfasilitasi Kelompok Terapeutik
16)   Keterampilan Kepemimpinan
17)   Keterampilan Analisa Masalah dan Intervensi
18)   Keterampilan Konseling Keluarga, Pasangan dan Orang terdekat
19)   Keterampilan Terapi Keluarga
20)   Keterampilan Mengembangkan Kelompok Dukungan Keluarga (Family Support Group)
21)   Keterampilan Manajemen Kasus
22)   Keterampilan Pengawasan
23)   Keterampilan Mengatasi Kecemasan Klien
24)   Keterampilan Tentang Etika dan Masalah Hukum
25)   Keterampilan dokumentasi dan catatan
            c.       Perkembangan Terbaru
1)      Perkembangan upaya-upaya Represi yang telah dilakukan
2)      Perkembangan upaya-upaya Prevensi yang telah dilakukan
3)      Perkembangan upaya-upaya Regulasi dan Rujukan
d.      Masalah-masalah Medik
1)      Penyakit-penyakit yang umumnya muncul pada kasus ketergantungan NAPZA
2)      Penanganan Gawat Darurat
3)      Penanganan Gejala Withdrawal
4)      Penanganan kasus komorbiditas
5)      Program Methadone
6)      Pendekatan detoxifikasi
7)      Pendekatan medik pendukung

C.      Dewan Konselor Adiksi

1.       IKAI (Ikatan Konselor Adiksi Indonesia) sebagai Cikal Bakal berdirinya Dewan Konselor Adiksi di
         Indonesia
a.       Definisi
Merupakan organisasi profesi yang berbasis kompetensi dan evidence bagi praktisi yang bergerak dalam kegiatan prevensi dan atau intervensi penggunaan, penyalahgunaan dan adiksi NAPZA di Indonesia.
Praktisi selanjutnya disebut sebagai konselor adalah warga negara Indonesia yang telah melewati pendidikan, training, yang berkaitan dengan ilmu konseling, terapi, perawatan penggunaan, penyalahgunaan, dan adiksi NAPZA.
b.      Latar belakang pendirian IKAI
1)      Perbandingan yang tidak seimbang antara jumlah pecandu NAPZA di Indonesia dengan jumlah profesi konselor adiksi yang ada. Seiring dengan meningkatnya jumlah pecandu yang ada di Indonesia, model dan metode layanan terapi adiksi menjadi semakin kompleks dan variatif, baik dalam segi pendekatannya maupun mekanisme programnya. Hal ini pun berbanding terbalik dengan sarana dan wahana yang ditujukan ke para praktisi, yang senantiasa memerlukan peningkatan kapasitas diri baik dalam segi keilmuan maupun pengembangan karakteristik pribadi.
2)      Standar kompetensi konselor adiksi
Maraknya model dan metode terapi rehabilitasi NAPZA di Indonesia membuat standar kompetensi dari konselor adiksi menjadi beranekaragam macamnya.Hal ini dirasa dapat membuat interpretasi masyarakat terhadap konselor adiksi menjadi bias. Sehingga ironisnya perbedaan pemahaman antara After care dan konselor adiksi menjadi bercampur.
3)      Pengakuan profesi konselor adiksi
Posisi profesi konselor adiksi pada umumnya di instansi atau lembaga yang ada bisa dikatakan di dalam “grey area”. Hal ini dikemukakan berdasarkan proses atau mekanisme pemberian predikat terhadap konselor adiksi itu sendiri yang belum jelas, dan umumnya jalur pencapaiannya melalui jalur internasional. Hal lainnya lagi adalah kejelasan pengakuan tentang standard kesejahteraan minimum yang harus diterima oleh seorang konselor adiksi, serta standar deskripsi kerja.

c.       Visi dan Misi
1)      Visi
Sebagai wadah praktisi yang bergerak dalam kegiatan prevensi dan atau intervensi penggunaan, penyalahgunaan, dan adiksi NAPZA yang profesional saling membantu dan mendukung satu sama lain dalam mengembangkan potensi untuk berpatisipasi dan berperan aktif dalam program nasional penanggulangan adiksi NAPZA
2)      Misi
Meningkatkan kapabilitas, profesionalisme, integritas, akuntabilitas, kesejahteraan praktisi yang bergerak dalam kegiatan prevensi dan atau intervensi penggunaan, penyalahgunaan, dan adiksi dengan menciptakan lingkungan yang terapeutik dalam menghadapi adiksi di Indonesia
d.      Anggota IKAI terdiri dari Konselor Adiksi yang bergerak dalam kegiatan konsultasi prevensi
        dan atau intervensi penggunaan, penyalahgunaan, dan adiksi NAPZA di Indonesia. Mereka
      termasuk konselor adiksi profesional maupun konselor adiksi yang memberikan layanan kepada masyarakat.
e.      Konselor adiksi memberikan layanan secara profesional atas dasar pengetahuan ilmu konseling
     dan pendekatan modalitas terapi dan perawatan adiksi NAPZA. Konselor Adiksi terikat dengan sekumpulan kode etik. Konselor adiksi harus bertanggung jawab dan memiliki akuntabilitas kepada penerima layanan (klien) dan mitra penyedia layanan (Pusat Perawatan, Pusat Konseling dan Pusat layanan sejenisnya).
f.        IKAI didirikan dengan tujuan untuk memberikan pengakuan profesional bagi konselor adiksi
   melalui proses sertifikasi pengetahuan, kemampuan dan kompetensi mereka. Memberikan kesempatan bagi konselor adiksi untuk meningkatkan profesionalisme dan pendidikan dalam bidang adiksi. Mendukung terciptanya perlindungan hukum bagi konselor adiksi dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
g.       Selain itu, IKAI turut aktif mendorong terciptanya kebijakan publik yang mendukung serta
        berpihak kepada pelaksanaan program terapi dan perawatan akibat penggunaan, penyalahgunaan dan adiksi NAPZA di Indonesia. Membina hubungan dan kemitraan yang baik dengan komunitas-komunitas perawatan dan pemulihan adiksi NAPZA, komunitas lembaga swadaya masyarakat, komunitas medis, komunitas agama, komunitas pendidikan, komunitas bisnis dan lembaga-lembaga pemerintah.
h.      Pendiri
Melalui “Deklarasi Batavia” 25 Juli 2008 oleh :
1)      Adzani Dompas
2)      Dody Nasrul
3)      Eri Wibisono Soenggoro
4)      Ferry Farhat
5)      Frans Siagian
6)      Hadi Yusfian,
7)      Janatha Ananda Putera
8)      Narendra Narotama
9)      Rahardjo Zaini,
10)    Risa Fauzi Alexander
11)   Steven Moniaga
i.         Struktur organisasi Nasional
1)      Ketua nasional                        :               Narendra Narotama
2)      Wakil ketua nasional               :               Risa Fauzi Alexander
3)      Sekretaris                               :               Rahardjo Zaini
4)      Administrasi dan umum           :               Tri Budi Utami
            j.        Struktur organisasi propinsi DKI Jakarta pada saat ini ;
1)      Ketua propinsi                           `: Achmad
2)      Panitia pendukung :
a)      Basyir Ahmad
b)      Julian Shandy
c)       Bathius
d)      Sonny Tri Purwanto
3)      Sekretariat : Jl.Kikir No 72, Kayu Putih 13210
Telp/fax : (021) 3583 5505/475 6039
            Website :www.adiksi.org
            k.       Motto
             Dukung kegiatan kami dalam rangka mewujudkan profesi konselor adiksi yang profesional dan  
             berkualitas."Profesional dalam membimbing, membimbing untuk lebih profesional"

2.       Dewan Konselor Adiksi
Dengan beragamnya pandangan mengenai apa itu konselor adiksi di Indonesia, maka semakin diperlukan batasan formal yang ditandai dengan sertifikasi, seperti profesi-profesi lain. Setidaknya IKAI memberikan gambaran mengenai sertifikasi konselor adiksi di Indonesia.Seperti profesi lain, biasanya di Indonesia mengikuti profesionalisme yang terlebih dahulu sudah berkembang di negara lain, terutama di Negara maju seperti Amerika Serikat. Maka sebagai wacana, maka akan dikemukakan dewan konselor adiksi di dua Negara bagian Amerika Serikat.
Lisensi konselor adiksi di Amerika Serikat(Negara Bagian New Dakota) yang didirikan tahun 1987, lembaga legislatifnya membentuk membentuk Dewan Penguji Konseling Adiksi (the North Dakota Board of Addiction Counseling Examiners), yang bertujuan:
a.     Menentukan standar minimum bagi lisensi konselor adiksi
b.    Menentukan kurikulum inti yang diperlukan
c.     Memberikan persetujaun terhadap program pelatihan konselor adiksi, masa belajar suatu keahlian, dan supervisi klinis
d.    Menentukan persyaratan praktek mandiri dan konseling kecanduan

Sedangkan dewan sertifikasi konselor adiksi Negara bagian Oregon di Amerika Serikat (Addiction Counselor Certification Board of Oregon /ACCBO), membaginya ke dalam klasifikasi yang lebih spesifik:
            a.       Sertifikasi Konselor NAPZA dan Alkohol I (Certified Alcohol Drug Counselor I/CADC I)
1)    Pendidikan NAPZA dan alcohol selama 150 jam
Semua jam pendidikan harus diakreditasi atau disetujui oleh lembaga akreditasi yang dikenal/diakui. Jam pendidikan harus meliputi topik wilayah berikut:
a)      Keterampilan konseling dasar
b)      Keterampilan konseling kelompok
c)       Penyalahgunaan ilmu kimia dari NAPZA dan alcohol
d)      Etika-etika
2)    1.000 jam pengalaman yang disupervisi dalam kompetensi konselor adiksi. Seluruh jam harus disupervisi oleh supervisor klinis yang memiliki kualifikasi
3)    Surat verifikasi, yang menjelaskan setidaknya telah 2 tahun bebas NAPZA bagi konselor adiksi yang berasal dari pecandu NAPZA.
4)    Bersedia mengikuti aturan
5)    Lulus dalam ujian yang ditentukan oleh CADC I (tes tulisNAADACs)
            b.      Sertifikasi Konselor NAPZA dan Alkohol II (Certified Alcohol Drug Counselor II/CADC II)
1)      Tingkat sarjana (atau ekivalen-setidaknyapenggabungan dan kombinasi kursus-kursus akademis dengan spesialisasi pelatihan dalam konseling adiksi). Kompetensi yang setaraf dengan tingkat kredit sarjana muda/jam yang dipersyaratkan) dengan minimal pendidikan NAPZA dan alcohol 300 jam.
2)      Semua jam pendidikan harus diakreditasi oleh lembaga akreditasi yang dikenal/diakui. Jam
      pendidikan harus meliputi topik wilayah berikut:
a)      Keterampilan konseling dasar
b)      Keterampilan konseling kelompok
c)       Penyalahgunaan zat kimia dari NAPZA dan alcohol
d)      Asesmen resiko HIV/AIDS dan resiko pengurangannya
e)      Etika-etika
f)       Konseling populasi beragam/berbeda
g)      Asesmen atau manajemen pencatatan klien, dan lain-lain
h)      Penyimpangan hidup bersama (dalam hal sosialisasi dengan orang lain?), diagnosis yang beragam (multiple diagnosis), atau dual diagnosis, dan sebagainya.
3)      4.000 jam pengalaman yang disupervisi dalam kompetensi konselor adiksi. Seluruh jam harus disupervisi oleh supervisor klinis yang memiliki kualifikasi
4)      Surat verifikasi, yang menjelaskan setidaknya telah 3 tahun bebas NAPZA bagi konselor adiksi yang berasal dari pecandu NAPZA.
5)      Bersedia mengikuti aturan
6)      Lulus dalam ujian yang ditentukan oleh CADC II (tes tulis NAADACs)
7)      Ujian Presentasi Kasus NAADACs.
Ketika kandidat lulus dari ujian tulis NCAC II, konselor akan diberi sertifikasi CADC I bersamaan dengan instruksi bagaimana mempersiapkan sebuah Ujian kasus Presentasi Kasus yang lengkap. Jika telah berhasil menyelesaikan Ujian Presentasi Kasus, konselor akan diberi sertifikat lulus CADC II. Kandidat harus berhasil menyelesaikan Ujian Presentasi Kasus dalam kurun waktu 4 tahun.
            c.       Sertifikasi Konselor NAPZA dan Alkohol III (Certified Alcohol &Drug Counselor III/CADC III)
1)    Setingkat master, dengan minimal 300 jam pendidikan NAPZA dan alcohol.
2)    Semua jam pendidikan harus diakreditasi oleh lembaga akreditasi yang dikenal/diakui. Jam pendidikan harus meliputi topic wilayah berikut:
a)      Keterampilan konseling dasar
b)      Keterampilan konseling kelompok
c)       Penyalahgunaan ilmu kimia dari NAPZA dan alcohol
d)      Asesmen resiko HIV/AIDS dan resiko pengurangannya
e)      Etika-etika
f)       Konseling populasi beragam/berbeda
g)      Asesmen atau manajemen pencatatan klien, dan lain-lain
h)      Penyimpangan hidup bersama (dalam hal sosialisasi dengan orang lain?), diagnosis yang beragam (multiple diagnosis), atau dual diagnosis, dan sebagainya.
i)        Teori adiksi Tx (seorang ahli), atau cara terbaik mempraktekkan teori adiksi Tx, atau pendekatan ilmiah berbasiskan adiksi, dan sebagainya.
3)    6.000 jam pengalaman yang disupervisi dalam kompetensi konselor adiksi. Seluruh jam harus disupervisi oleh supervisor klinis yang memiliki kualifikasi
4)    Surat verifikasi, yang menjelaskan setidaknya telah 3 tahun bebas NAPZA bagi konselor adiksi yang berasal dari pecandu NAPZA.
5)    Bersedia mengikuti aturan
6)    Lulus ujian MAC II (tes tulis NAADACs)
7)    Ujian Presentasi Kasus NAADACs.
Ketika kandidat lulus dari ujian tulis NCAC II, konselor akan diberi sertifikasi CADC I bersamaan dengan instruksi bagaimana mempersiapkan sebuah Ujian kasus Presentasi Kasus yang lengkap. Jika telah berhasil menyelesaikan Ujian Presentasi Kasus, konselor akan diberi sertifikat lulus CADC III. Kandidat harus berhasil menyelesaikan Ujian Presentasi Kasus dalam kurun waktu 4 tahun.

d.      Sertifikasi Spesialis Pencegahan (Certified Prevention Specialist/CPS)
1)     150 jam pendidikan pencegahan
2)     Semua jam pendidikan harus diakreditasi atau disetujui oleh badan akreditasi yang dikenal atau diakui. Jam pendidikan harus meliputi topic wilayah berikut:
a)      Zat kimia ATOD
b)      Faktor perlindungan resiko
c)       Pencegahan ATOD dan pencegahan umum
3)     2.000 jam pengalaman yang disupervisi di ranah pencegahan
4)     120 jam dalambelajar dan evaluasi pengalaman oleh supervisor pencegahan yang berkualifikasi
5)     Surat verifikasi, yang menjelaskan setidaknya telah 2 tahun bebas NAPZA bagi konselor adiksi yang berasal dari pecandu NAPZA.
6)     Bersedia mengikuti aturan
7)     Pemeriksaan catatan sejarah kriminal nasional
8)     Ujian spesialisasi pencegahan ICRC
            e.      Kebijakan resertifikasi ACCBO (ACCBO Recertification Policies)
Sertifikat diberikan untuk periode 2 tahun. Bisa diperbaharui dengan cara sertifikasi kembali (recertification), adalah sebuah proses yang dirancang untuk membantu CADC dalam memelihara dan memperluas kompetensi. Jika sertifikasi telah berakhir masa berlakunya, harus mendaftar untuk perpanjangan, jika tidak akan dicoret dari daftar CADC. Agar terdaftar bagi perpanjangan, harus mengirimkan surat rinci yang menerangkan penyebab kadaluarsanya sertifikasi.
Seseorang  akan menerima paket resertifikasi (recertification) dari ACCBO 30-60 hari sebelum tanggal kadaluarsa sertifikat. Paket akan terdiri dari formulir berikut, Permintaan Resertifikasi, dan Daftar Formulir Resertifikasi untuk Melanjutkan Pendidikan.
Sebagai sebuah tindakandarurat dalam merespon pemotongan pendanaaan akhir-akhir ini, Dewan Direktur ACCBO telah melakukan voting untuk secara sementara mengurangi jam-jam yang diperlukan bagi resetifikasi dari 60 menjadi 40.
1)      Pelamar resertifikasi harus menunjukkan pendidikan yang tidak terputus selama 40 jam. Ini bisa berupa tugas mata kuliah, workshop, pelayanan, pelatihan atau pelajaran kelas.
2)      16 jam ke atas atau lebih waktu pengujian sukarela dapat digunakan sebagai pengganti jam pendidikan. Jam sukarela dapat dijadikan sebagai penguji verbal. Hanya orang yang memenuhi syarat dan yang berpartisipasi dalam Pelatihan Penguji verbal NAADACyang dapat memanfaatkan jam-jam ini.
3)      Pemohon resertifikasi harus melengkapi Catatan Pendidikan Keterampilan dan melampirkan semua sertifikat dan transkrip. Hanya jam-jam pelatihan yang tercatat yang disertai sertifikat yang akan diterima. Jadwal program, silabus, yang berspekulasi tidak akan diterima.
4)      Jam-jam/waktu pelatihan dibagi dalam dua katagori
a)      Katagori I
Pendidikan konseling dan alcohol minimal 20 jam, A & D Tx, perencanaan Tx, dual diagnosis, populasi khusus dalam A & D Tx, metodologi konseling yang memfokuskan dalam penyalahgunaan zat, pencegahan kekambuhan, SAM, methadone, pencegahan ATOD, kesehatan perilaku khusus yang berkaitan dengan NAPZA dan alcohol, pelatihan software, dan sebagainya.
b)      Katagori II
Pendidikan konseling maksimum 20 jam, meliputi manajemen perawatan, konseling orang yang dapat bertahan dari trauma, penyimpangan psikiatrik, tugas psikologi kuliah umum, tugas pekerjaan social, kesehatan perilaku umum, pelatihan software, dan sebagainya.
Keempat puluh jam tersebut dapat berupa pelatihan khusus NAPZA dan alcohol. Melanjutkan waktu pendidikan tidak harus persetujuan ACCBO.
5)      Surat lamaran, catatan pelatihan; sertakan semua fotocopy sertifikat, dan dana resertifikasi harus disertakan kepada ACCBO sebelum habis masa berlakunya sertifikat.

 f.        Kebijakan tambahan
     
 Beberapa  CADC (CADC I, CADC II, CADC III) memberikan beberapa syarat untuk memperoleh perpanjangan masa kadaluarsa sertifikasi, harus membawa bukti permintaan perpanjangan kepada dewan secara tertulis. 30 hari pertama kelonggaran waktu diberi ijin dengan permohonan. Penambahan perpanjangan waktu 90 hari (120 hari perpanjangan dari masa kadaluarsa sertifikat) harus membayar dengan harga $ 50.




Rentan Eksploitasi, Mantan Pecandu
NAPZA Perlu Kerahasiaan

Di depan sekumpulan murid sekolah, seorang pemuda yang mengaku sebagai mantan pecandu yang sudah pulih selama empat bulan bercerita tentang pengalaman hidupnya. Bagaimana ia sampai bisa terperosok ke dalam dunia adiksi (kecanduan) hingga akhirnya ia dapat pulih dari ketergantungannya.
Beberapa tahun belakangan ini, hal seperti ini sering kita temui dalam seminar-seminar NAPZA dan tak kalah sering juga kita jumpai dalam berbagai media cetak dan elektronik, terutama jika pada saat menjelang peringatan hari Anti-Madat ataupun hari AIDS sedunia.
Memang tak ada yang salah dengan hal ini. Asalkan memang dilakukan secara sukarela. Selama tak ada unsur-unsur yang bersifat paksaan, semuanya sah-sah saja. Tapi apakah saatnya sudah tepat bagi si pecandu tersebut? Apakah kesaksian ini memang benar-benar sangat diperlukan? Bukankah masih banyak cara lain yang dapat ditempuh jika kita memang ingin memberikan pelajaran melalui contoh kasus.
Perlu diingat bahwa seorang mantan pecandu NAPZA sangat rentan terhadap eksploitasi. Hal ini dapat terjadi dengan disengaja ataupun tanpa disengaja, baik secara sadar maupun tanpa disadari.
Hal seperti ini sudah terpikirkan sejak lama oleh para pecandu yang tergabung dalam komunitas Narcotics Anonymous (NA). Oleh sebab itu azas konfidensialitas atau kerahasiaan yang diimplementasikan melalui anonimitas dalam pertemuan-pertemuan NA sudah menjadi landasan spiritual yang paling utama sejak berdirinya komunitas ini. Setiap kali pertemuan NA akan berakhir para pecandu yang hadir selalu diingatkan untuk menjaga kerahasiaan orang-orang yang mereka temui di dalam pertemuan itu. “Siapa yang anda lihat disini dan apa yang anda dengar disini, biarlah tetap tinggal disini.”
Azas konfidensialitas ini sudah menjadi prioritas utama dalam konseling tes sukarela HIV atau Voluntary Counseling Testing (VCT). Tapi bagaimana dengan konseling adiksi? Seringkali hal ini terabaikan atau bahkan terlupakan sama sekali. Konselor adiksi sering kali merasa mempunyai hak penuh atas kliennya. Dan tidak jarang yang akhirnya menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya dengan mengabaikan hak seorang klien untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk eksploitasi.
Contoh kasus yang paling sering terjadi adalah seorang konselor membocorkan rahasia mengenai identitas kliennya yang sedang menjalani perawatan kepada orang luar yang tidak berkepentingan dalam hal perawatan pecandu. Atau mungkin yang cukup sering terjadi adalah konselor memerintahkan kliennya untuk melakukan testimoni atau kesaksian di depan umum tanpa meminta persetujuan si klien sendiri. Bahkan jika memang sang klien telah setuju sekalipun, apakah kita dapat menjamin ini memang keputusan murni klien tersebut?
Penting untuk diingat bahwa posisi seorang konselor adiksi dan kliennya adalah posisi yang tidak seimbang. Seorang klien akan sulit untuk berkata “tidak” terhadap permintaan konselornya. Selain itu apakah bukan sebuah keputusan yang terburu-buru jika kita meminta seorang mantan pecandu NAPZA yang baru “bersih” dalam hitungan bulan untuk menceritakan kesaksiannya di muka umum. Jangan sampai hal tersebut justru akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Oleh sebab itu dalam hal rehabilitasi pecandu NAPZA sangat diperlukan adanya batasan dan “aturan main” yang jelas antara konselor dan kliennya. Hal ini perlu untuk melindungi hak-hak seorang klien dan juga agar konselor dapat bersikap profesional dalam melaksanakan pekerjaannya. Selain menjaga kerahasiaan kliennya, seorang konselor adiksi juga dituntut untuk dapat bersikap obyektif. Disamping itu, seorang konselor diharapkan dapat menjadi pendengar yang baik bagi kliennya tanpa memberikan penilaian apalagi menghakiminya.
Kembali lagi bahwa memang tidak ada yang salah dalam hal ini. Selama sistem hukum kita belum mengaturnya secara jelas, semuanya masih sah-sah saja. Semuanya tergantung suara hati kita masing-masing, apakah sudah pantas yang kita lakukan selama ini? Mari bersama-sama kita belajar untuk peduli dan belajar untuk menghargai hak-hak orang lain tanpa pernah mencoba untuk memaksakan keinginan kita, dimulai dari diri kita sendiri. “Let it begin with me!”
                                                                    Evan J. Pangkahila

REHABILITASI TAK HARUS BERTERALI


“Aku tidak mau dimasukan ke rehab, dikurung kayak dipenjara dan diperlakukan seperti orang gila, biar aku berhenti sendiri saja,” ungkap salah seorang pecandu aktif (pecandu yang masih menggunakan NAPZA).
Hingga saat ini banyak orang masih berpandangan, bahwa rehabilitasi terhadap kecanduan NAPZA, masih menggunakan konsep lama, dimana seorang pecandu akan diperlakukan dengan keras agar mereka jera.
Sebagian besar pecandu aktif yang telah lama menggunakan NAPZA, umumnya akan merasa jenuh serta jera dengan kecanduannya. Akan tetapi karena penyakit kecanduannya lebih powerful dari diri mereka sendiri, maka sulit bagi mereka untuk bisa menghentikan penggunaan NAPZAnya sendirian.
Lalu bagaimana sebaiknya menangani masalah kecanduan ini?Hingga saat ini untuk sebagian besar kasus kecanduan, rehabilitasi adalah solusi terbaik.
Tentunya program rehabilitasi tersebut haruslah memiliki kriteria yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar program rehabilitasi, antara lain :
•     Memandang klien (pecandu dalam program rehabilitasi) apa adanya sebagai manusia, dan mendahulukan kepentingan klien.
•     Mempunyai kepercayaan bahwa klien dapat berubah, seberat apapun masalahnya.
•     Mengikutsertakan klien dalam menyusun rencana perawatan, untuk menambah tekad 
      klien dalam menjalani pemulihan.
•     Memiliki komitmen dan tidak mudah putus asa. Tetap melanjutkan upaya walaupun
      telah sering mengalami kekecewaan dan kegagalan.Serta kreatif mencari pendekatan yang lebih efektif.
•   Dapat menerapkan batasan-batasan yang jelas dalam interaksi antara clinical staff (Staf ahli dalam program rehabilitasi) dengan klien.
•       Memiliki kode etik yang jelas, dalam menjalani fungsi program.
•       Menjaga kerahasiaan/konfidensialitas klien.
•       Memiliki fasilitas yang cukup memadai.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, pecandu haruslah diperlakukan sebagai manusia.Berarti mereka berhak menentukan pilihan atas hidupnya sebagai pribadi yang utuh.
Tugas dari program rehabilitasi adalah memotivasi mereka untuk melakukan perubahan ke arah positif serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi mereka untuk melakukan perubahan.
Selain itu program rehabilitasi juga harus menjalankan minimal 3 peraturan utama (cardinal rules) seperti :
1. No Drugs/Total Abstinence (tidak ada penggunaan NAPZA dalam jenis apapun termasuk  
    alkohol)
2. No Sex (tidak ada tindakan seksual)
3. No Violence (tidak ada tindakan kekerasan) 

Hingga saat ini sudah banyak program rehabilitasi yang menerapkan prinsip-prinsip dasar seperti tersebut di atas.
Sebagai salah satu contoh, program rehabilitasi di Yayasan Bali Nurani, yang berada di Bali. Dalam program rehabilitasi ini, klien (pecandu) tidak akan dipaksa apalagi dikurung dalam menjalani program pemulihannya.
Klien hanya akan dimotivasi untuk bisa melihat pemulihan sebagai sebuah kebutuhan yang utama bagi dirinya. Serta diminta untuk bekerja sama mematuhi peraturan program yang sebagian juga dibuat bersama-sama dengan para klien.
Klien juga diperkenankan mengikuti kegiatan di luar fasiliti program, seperti aktifitas kebugaran, kesenian, rekreasi dan pertemuan-pertemuan kelompok dukungan seperti NA dan AA (Narkotik Anonimus dan Alkoholik Anonimus).
Yang lebih menarik ternyata program ini memiliki subsidi atau bea-siswa bagi mereka yang tidak mampu secara finansial, tetapi memiliki niatan yang kuat untuk berhenti menggunakan NAPZA.
Berdasarkan hal ini, sebaiknya kita mulai menyingkirkan mitos bahwa program rehabilitasi adalah sebuah proses yang menakutkan. Atau bahkan pandangan bahwa pecandu tidak memiliki kesempatan untuk berubah.
Sesungguhnya pintu menuju pemulihan bagi pecandu sudah terbuka lebar. Asalkan ada niat yang kuat, jalan keluar akan terbuka lebar.
Oscar Parulian Silalahi

 

KECANDUAN SEBAGAI SEBUAH PENYAKIT

 

Maraknya penggunaan NAPZA suntik beberapa tahun belakangan ini telah mengakibatkan meningkatnya penularan HIV.Hal ini disebabkan oleh perilaku para pengguna NAPZA suntik yang sering kali bertukar jarum suntik.Selain itu perilaku kriminal pun kerap terjadi sebagai dampak dari kecanduan terhadap NAPZA dan Alkohol.
Tapi apakah sebenarnya kecanduan atau Adiksi itu?Perlu diketahui bahwa ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai Adiksi. Menurut Dennis L. Thombs dalam bukunya yang berjudul Introduction To Addictive Behaviors ada beberapa teori mengenai Adiksi. Yang pertama adalah Religious Model (Model Religi) yaitu pandangan yang menganggap bahwa Adiksi disebabkan oleh karena kurangnya pemahaman seseorang terhadap nilai-nilai dari ajaran agama yang dipercayai oleh orang tersebut.Dan hal ini berakibat pada kurangnya keyakinan atau iman seseorang. Menurut pandangan ini pendidikan agama akan dapat menyembuhkan seorang pecandu dari ketergantungannya.
Teori berikutnya adalah Moral Model (Model Moral), yaitu sebuah pemikiran yang memandang penyebab dari terjerumusnya seorang pecandu ke dalam dunia kecanduan karena telah terjadi degradasi moral pada si pecandu tersebut.Oleh sebab itu teori ini beranggapan bahwa untuk dapat menyembuhkan seorang pecandu maka harus melalui tempaan yang disertai dengan penanaman nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, misalnya adalah dengan menghukum seorang pecandu dengan hukuman penjara.
Sebuah paradigma baru mengenai Adiksi yang telah berkembang dalam beberapa dasawarsa terakhir adalah apa yang disebut dengan Disease Model (Model Penyakit), yaitu sebuah pandangan yang menganggap Adiksi atau kecanduan sebagai sebuah penyakit. Pandangan ini menganggap bahwa seseorang menjadi pecandu bukan karena kesalahan dari diri orang tersebut ataupun lingkungannya.Akan tetapi karena memang berkembangnya sebuah penyakit yang bernama Adiksi dalam diri orang tersebut.Penyakit Adiksi ini bersifat kronis, progresif, dan fatal.
Dr. Elfrin Jellineck mengembangkan dasar medis dari paradigma ini setelah melakukan riset terhadap Alkoholisme di Amerika pada tahun 1960an. Beberapa tahun sebelumnya, pada tahun 1956 Alcoholism secara resmi dikenal sebagai sebuah penyakit yang memerlukan perawatan medis oleh American Medical Association. Bahkan lebih awal lagi, pada tahun 1930an, sebuah gerakan pemulihan dari Alkoholisme di Amerika Serikat yang menyebut dirinya Alcoholics Anonymous (AA) telah mengadopsi konsep Disease Model ini sebagai teori dasar mereka mengenai kondisi ketergantungan terhadap Alkohol ini. Gerakan tersebut kini sudah mendunia dan melahirkan komunitas baru yang disebut Narcotics Anonymous (NA) yang menggunakan dasar teori yang sama, hanya saja pada komunitas ini diterapkan pada ketergantungan terhadap NAPZA, suatu bukti bahwa Disease Model ini dapat menjelaskan ketergantungan terhadap semua zat yang disalahgunakan. Perlu dicatat, dalam perkembangannya, Disease Model ini kemudian “bercabang’ dan mempunyai beberapa bentuk variatif.Komunitas medis pengusung teori ini melihatnya sebagai gejala penyakit yang terdapat di otak manusia. Sedang komunitas pemulihan seperti AA dan NA berpendapat bahwa ruang lingkup dari efek penyakit ini jauh melampaui sekadar proses biokimia dalam diri seseorang yang kecanduan, tetapi juga merambah ke aspek spiritual atau kerohanian orang tersebut.
Tetapi kesamaan pada beberapa varian teori Disease Model ini terletak pada pandangan bahwa seseorang yang mempunyai penyakit kecanduan tidak semestinya bertanggungjawab atau disalahkan karena mengalami kecanduan, karena seperti halnya penyakit kronis lain seperti Diabetes dan kanker, munculnya kondisi ini tidak selalu berhubungan langsung dengan perilaku atau lingkungan orang tersebut. Pendapat ini sekaligus membantu mengikis stigma yang menganggap bahwa seseorang menjadi pecandu disebabkan oleh karena lemahnya karakter dan kepribadian dalam diri si pecandu, atau karena lingkungan tempat tinggal atau keluarga yang tidak ideal, dan bahkan mematahkan anggapan bahwa seseorang terjerumus ke dalam dunia Adiksi karena lemahnya iman orang tersebut kepada Tuhan ataupun ajaran-ajaran agamanya.
Sejauh ini di Indonesia dan khususnya di Bali beberapa pusat rehabilitasi telah menggunakan pandangan Disease Model ini dalam program perawatannya.Salah satunya adalah Yayasan Bali Nurani, sebuah rehabilitasi yang berlokasi di daerah Monang Maning, Denpasar.Sejak awal berdiri pada tahun 2004, Yayasan Bali Nurani telah menerapkan Disease Model of Addiction sebagai falsafah dasar program perawatannya. “Tampaknya hal ini cukup efektif dalam membantu proses pemulihan para klien yang menjalani rehabilitasi di tempat kami untuk dapat memahami permasalahan kecanduannya”, kata Andrei Simanjuntak, Recovery Unit Director Yayasan Bali Nurani. “Dengan memahami kondisi mereka sebagai seorang pecandu, dan menyadari tidak perlunya seorang pecandu untuk menyalahkan siapapun, termasuk dirinya sendiri, maka diharapkan akan timbul penerimaan terhadap diri mereka. Sedangkan penerimaan terhadap kondisi ini merupakan langkah awal dalam sebuah proses pembenahan diri dari segi fisik, mental, emosi, dan rohani yang kemudian menjadi pemulihan seorang pecandu,” lanjutnya.
Penting untuk diketahui bahwa hingga saat ini dalam perkembangan permasalahan Adiksi yang relatif masih tergolong sebagai ilmu baru ini, belum ada satu teori pun yang dapat diklaim sebagai teori yang paling benar. Begitu juga dengan metode perawatannya yang sampai saat ini belum ada satu pun metode perawatan ataupun obat yang terbukti dapat “menyembuhkan” bagi semua pecandu, karena penyembuhan berarti bahwa si pecandu tidak akan pernah kembali ke kecanduannya, dan dalam menjamin hal ini belum ada satu pendekatanpun yang bisa berhasil seratus persen.
Yang perlu kita ingat adalah bahwa setiap usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil yang setimpal (what goes around shall come around).

Evan J. Pangkahila





No comments:

Post a Comment